SuaraJogja.id - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menyoroti pentingnya membangun sistem yang kuat bagi perempuan dan anak di Indonesia. Sistem yang kuat itu dinilai sebagai sebuah langkah antisipasi terjadinya kekerasan seksual agar tidak terulang kembali.
"Berharapnya itu kita membangun sistem yang membuat mereka berani speak up. Kemudian sistem yang dia punya bargaining position atau daya tawar ketika sesuatu itu mengancamnya. Jadi dia bisa apa," kata Wahyu saat dihubungi awak media, Rabu (22/12/2021).
Selama ini, Wahyu menilai belum ada sistem yang kemudian bisa digunakan untuk mendukung perempuan dan anak untuk terbebas dari ancaman kekerasan seksual. Sistem yang ada saat ini justru malah semakin melemahkan perempuan.
"Dia merasa enggak punya power untuk melawan itu akhirnya mereka jadi korban (kekerasan seksual). Bayangkan kalau sistem bersahabat kepada mereka. Bisa jadi mereka tidak akan menjadi korban dari kekerasan seksual itu," tegasnya.
Baca Juga:Ambil Contoh Kasus Mirip Jiwasraya, UGM Jadi Juara Legal Opinion Competition FH Usakti
Tidak hanya perlu menciptakan sistem yang kuat bagi anak dan perempuan, kata Wahyu, peran pemerintah juga harus hadir di tengah masyarakat. Tujuannya untuk melindungi setiap warganya dari tindak kekerasan seksual itu.
Pemerintah diharapkan juga dapat membantu proses pembuatan sistem tersebut. Bukan melulu hanya bertindak ketika sudah ada kasus yang terungkap.
"Kita kan warga negara, nah pemerintah juga harus menyediakan sistem yang memadahi untuk perlindungan, untuk kontrol dan sebagainnya. Jangan cuma bertindak ketika sudah terblow up saja," ujarnya.
Wahyu turut menyampaikan pentingnya edukasi sejak dini kepada anak-anak di dalam keluarga. Pendidikan seksualitas yang sudah diajarkan sejak dini dipercaya akan tertanam hingga jangka panjang.
"Bayangkan kalau misalnya punya anak laki-laki atau perempuan, sudah diberikan penjelasan perbedaan jenis kelamin itu kenapa, terus kemudian gimana dia harus berelasi antara laki-laki dan perempuan. Saya yakin mungkin itu lebih bisa tertanam untuk jangka panjang. Dan saya yakin di kedepannya nanti bisa membantu mengurangi resiko kekerasan seksual yang mungkin sekarang masif terjadi," tuturnya.
Baca Juga:Sosiolog UGM: Penyelesaian Kekerasan Seksual Bukan Soal Pakaian
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat selama 2021 ini ada 799 laporan kekerasan terhadap perempuan. Laporan diterima lewat Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
"Persoalan kekerasan [seksual] ini seperti fenomena gunung es. Dengan data yang ada dan yang terjadi di lapangan itu masih jauh lebih besar. Kita di kementerian ini tidak mau hanya menjadi pemadam kebakaran, yang kita harus kita lakukan harus gerak bersama," ungkap Menteri PPPA, Bintang Puspayoga dalam rangkaian peringatan Hari Ibu ke-93 di Ndalem Joyodipuran, Selasa (21/12/2021) malam.
Bintang meminta semua pihak dari hulu hingga hilir turut serta dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual tersebut. Pencegahan kasus kekerasan seksual menjadi penting dilakukan oleh semua institusi terkait sesuai fungsi dan kewenangannya. Perlindungan hak dasar perempuan dan anak harus dipenuhi.
Maraknya kasus kekerasan yang banyak bermunculan saat ini menandakan masyarakat mulai mau bersuara. Apalagi dar kasus-kasus tersebut, perempuan yang banyak menjadi korban kekerasan pun berani menyampaikan suaranya.
"Dengan speak up, maka kita bisa menyelamatkan [korban] anak-anak kita," ujarnya.
Bintang menambahkan, dalam hal regulasi untuk penanganan kasus kekerasan seksual, Pemerintah terus melakukan diskusi secara intens dengan DPR RI untuk pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
RUU yang menjadi inisiatif DPR tersebut sudah masuk Program Legislasi Nasional (prolegnas). Dan rencananya pada 2022 mendatang masuk daftar prioritas untuk disahkan.