SuaraJogja.id - Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menyebut bahwa cara berpakaian seseorang tidak bisa disalahkan dalam dalam kasus kekerasan seksual. Kesadaran individu yang justru seharusnya menjadi poin utama dalam setiap kasus tersebut.
"Saya sangat ngga setuju (pakaian yang disalahkan dalam kasus kekerasan seksual). Ada juga kasus anak SD pun dengan pakaian yang tertutup masih menjadi korban perkosaan," kata Wahyu dalam sambungan telepon, Rabu (22/12/2021).
Wahyu juga tidak habis pikir bahwa saat ini masih banyak orang yang kemudian menyalahkan perempuan hingga pakaiannya dalam setiap kekerasan seksual. Ia menduga sistem di masyarakat Indonesia yang masih patriarki secara tidak langsung melatarbelakangi pemikiran tersebut.
"Tapi kenapa selalu perempuan yang disalahkan? Kenapa laki-laki tidak dibilang menjaga nafsunya? Apakah nafsu itu sesuatu yang alami atau gimana? Tapi kan lagi-lagi karena sistem kita itu cenderung patriarki, apa-apa yang disalahin perempuan," tuturnya.
Baca Juga:Data Pelacakan Alumni 2021, 76,35 Persen Lulusan UGM Telah Bekerja dan Lanjut Studi
"Bahkan misalnya ada pasangan suami istri, suaminya selingkuh yang disalahkan pelakornya (perempuan). Padahal suaminya juga mau. Kalau ngga yang disalahin malah istrinya karena ngga bisa melayanin suami. Itu gimana coba? Kayak ngga ada yang bener aja," sambungnya.
Disampaikan Wahyu bahwa persoalan yang seharusnya diperhatikan bukan masalah pakaian. Sebab tidak sedikit juga kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dengan pakaian serba tertutup.
Menurutnya persoalan kekerasan seksual tetap akan kembali kepada kesadaran setiap individu. Untuk bisa menjaga tindakan dan perilakunya agar tidak melakukan kekerasan seksual kepada orang lain.
"Ada juga loh yang liat orang pakaian terbuka juga enggak minat itu juga ada. Jadi bagi saya bukan soal pakaian, itu enggak akan menyelesaikan persoalan. Tapi justru malah akan semakin menekan perempuan secara sosial. Perempuan harus kukupan (tertutup) gitu. Lha itu di Afganistan pakai burqa juga masih jadi korban kekerasan seksual. Tetap balik lagi ke kesadaran individu," ungkapnya.
Wahyu menduga kurangnya pengawasan dari pemerintah juga menjadi salah satu faktor munculnya kekerasan seksual itu. Mengingat bahwa dalam beberapa waktu terakhir kasus kekerasan seksual justru terjadi di institusi pendidikan.
Baca Juga:Rapat Terbuka Dies Natalis ke-72, UGM: Kuatkan Resiliensi Menuju Kenormalan Pasca Pandemi
"Jangan-jangan kasus ini (kekerasan seksual) marak karena pengawasan dari pemerintah yang mungkin nggak berjalan, bisa jadi. Sebab itu kan terjadi di institusi pendidikan ya, formal atau informal ya, kayak kekerasan seksual di kampus, di pesantren atau masih banyak yang lain. Saya lihat yang agama lain juga ada, enggak hanya di pesantren saja," terangnya.
Tidak ada pengawasan atau sistem kontrol dari pemerintah itu, kata Wahyu diduga kemudian melanggengkan terjadinya tindak kekerasan seksual. Sebab tidak ada orang yang kemudian takut untuk menjadi pelaku.
"Jangan-jangan karena negara kita nggak punya sistem kontrol yang memadai untuk orang menjadi cukup takut untuk melakukan itu, untuk menjadi pelaku. Jangan-jangan persoalannya di situ," imbuhnya.
"Jadi kalau hanya fokus di kasus satu terus selesai dan semua baik-baik saja juga enggak. Ada banyak hal yang sifatnya makro yang secara sistem harus diperbaiki juga," tegasnya.