Kisah Dosen di DIY Dampingi Mahasiswi Korban Kekerasan Seksual: Terduga Pelaku Dipercepat Lulusnya Demi Nama Baik Kampus

Laksmi menyebut kekerasan seksual yang terjadi di kampus merupakan kekacauan di institusi pendidikan.

Galih Priatmojo
Selasa, 25 Januari 2022 | 13:17 WIB
Kisah Dosen di DIY Dampingi Mahasiswi Korban Kekerasan Seksual: Terduga Pelaku Dipercepat Lulusnya Demi Nama Baik Kampus
ilustrasi kekerasan seksual. [ema rohimah / suarajogja.id]

"Jadi mahasiswa asing ini dia orangnya seperti Don Juan-nya kampus, begitu," terangnya. 

Saat Laksmi mengusulkan kepada pihak kampus untuk meneruskan kasus tersebut sampai ada keadilan bagi penyintas serta mengusulkan terduga pelaku tidak lulus kuliah, mayoritas tidak mendukung langkahnya. 

"Jadi ya dia itu pokoknya dibuat supaya kuliahnya lancar-lancar, lulus cepat, terus pergi sajalah dari kampus. Sudah jangan di sini lama-lama," ungkapnya. 

Efek kekerasan seksual terhadap penyintas tak bisa dianggap main-main, sambung Laksmi. Ada satu mahasiswi yang ia ajar, berbeda kasus, mengalami persoalan mental yang berujung pada turunnya prestasi belajar. Terlihat pula banyak perubahan krusial lain dalam dirinya. Hal itu terjadi usai ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan dosen pembimbing skripsinya. 

Baca Juga:Juru Parkir Nuthuk Rp350 Ribu Divonis Denda Rp2 Juta, Forpi Jogja: Semoga Berefek Jera

"Saya mau menangis kalau mengingatnya. Dia mengalami kekerasan seksual dari orang yang menurutnya adalah bisa ia percaya di kampusnya," ucap Laksmi. 

Kala itu Laksmi melihat sosok penyintas sebagai mahasiswi luar biasa, berpotensi menjadi bintang, sangat aktif, kritis dan karakter baik lainnya. Namun kemudian secara berangsur, ia menyadari ada banyak perubahan dan penurunan prestasi belajar mahasiswinya itu. Karakter anak itu berubah, demikian juga cara berpakaian.

"Tadinya saya tidak menyadarinya. Tapi lama-lama saya lihat, sepertinya ada sesuatu dengannya. Dari sana saya mulai mendampinginya," tuturnya. 

Sebagai dosen, ia mengkritisi budaya patrialkal di kampus, termasuk kebiasaan kampus dalam memegang prinsip 'demi nama baik kampus'. Kondisi ini, membuat perjuangan mencari keadilan bagi penyintas kekerasan seksual membutuhkan perjalanan panjang. Baik itu penyintas yang mengalaminya di kampus, indekos, di mana saja. 

Laksmi banyak berdiskusi dengan pihak-pihak lain yang sejalan dengannya, termasuk beberapa mahasiswa yang punya kepedulian yang sama atas isu ini. Ia mengapresiasi itu.

Baca Juga:Diduga Akar Rapuh, Pohon Preh Milik Keraton Jogja Tumbang di Dekat Masjid Gede Kauman

"Saya ini nobody. Hanya dosen yang peduli," ucapnya. 

Laksmi tak mengaku lelah sama sekali berada di jalan ini. Walaupun ia sadar betul ia menemukan banyak suara sumbang tentang dirinya, menghadapi risiko buruk atas apa yang ia perjuangkan. 

Menurutnya seorang dosen bukan saja seorang dosen, bukan hanya guru tetapi juga orang tua bagi mahasiswanya. Empati dan rasa kasih itu, membuatnya tak henti mendampingi mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual. 

Ia menambahkan, sudah saatnya kampus punya payung tersendiri yang mengakomodasi aduan dan penanganan kekerasan seksual secara khusus. Mereka juga harus mendeklarasikan diri bahwa 'mereka ada dan siap mendampingi'. Aturan yang ada dalam penanganan juga jelas dan berpihak pada korban.

"Karena one is too much (satu itu terlalu banyak). Satu [korban] pun harus dicegah. Kita harus punya sikap, bahwa kesadaran seperti ini penting di era yang katanya equity (berkeadilan)," tandasnya. 

Sikap Kampus dalam Penanganan Kekerasan Seksual

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak