SuaraJogja.id - Suaranya terdengar parau. Sosok Kuat Suparjono nyatanya tak sekuat namanya. Tangisannya pecah ketika bercerita mengenai rencana Pemda DIY merelokasi PKL Malioboro.
Sambil membenahi emosinya, pria 48 tahun itu memilih diam beberapa saat agar kembali tenang. Tarikan nafasnya memberikan sinyal bahwa dia siap melanjutkan cerita bagaimana kondisi para pendorong gerobak di Malioboro dengan nasibnya yang abu-abu.
"Kami benar-benar bingung ketika wacana relokasi itu berhembus November 2021 lalu. Kekhawatiran hingga stres itu saya rasakan. Kalau benar PKL direlokasi, bakal kerja apa kita (pendorong gerobak)?" buka cerita Kuat saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (27/1/2022).
Sejak awal relokasi itu santer diberitakan hingga akhir Desember 2021, Kuat tak berhenti berpikir bagaimana cara agar dirinya tetap bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya meski nanti tak lagi mendorong puluhan gerobak yang jadi tanggungjawabnya.
Baca Juga:Puluhan PKL Malioboro Ngotot Penundaan Relokasi, Minta Keringanan Tunggu Setelah Lebaran
Pria asli Gedongtengen, Kota Jogja yang tinggal tepat di belakang kantor DPRD DIY ini tak bisa banyak berbuat saat itu. Namun, ketika sejumlah orang termasuk pedagang melakukan aksi dan pertemuan dengan pemerintah terkait wacana relokasi, Kuat mendapat secercah harapan.
"Saya terus meminta ke pemerintah agar teman-teman pendorong (gerobak) ini diperhatikan. Selama puluhan tahun, pendapatan dari mendorong gerobak ini merupakan yang utama," ujar Kuat yang juga membuka jasa perbaikan AC dan mesin cuci ini.
Satu gerobak bisa dihargai Rp10-15 ribu untuk sekali dorong. Dalam sehari dirinya bisa meraup sekitar Rp200 ribu dari mendorong hingga merapikan gerobak.
Namun ia mengatakan untuk gerobak ukuran kecil 70×100 cm dengan tinggi 80 cm hanya dihargai Rp5 ribu. Kendati demikian dalam sehari dirinya mengaku sudah beruntung bisa memberi makan istri dan juga menyekolahkan anak.
"Kalau dihitung sampai akhir pekan, ketika semua pedagang jualan, saya bisa dapat sampai Rp1,1-1,4 juta. Kalau hari biasa kadang pedagang kan tidak jualan," ujar Kuat.
Baca Juga:Menunggu 18 Tahun, Sri Sultan Akhirnya Gelar Wilujengan Relokasi PKL Malioboro Besok
Dengan demikian dalam sebulan, Kuat bisa mengantongi hingga Rp4 juta. Pekerjaan sepele ini, dianggap Kuat sebagai penyambung hidup keluarganya.
Sayang, relokasi yang rencananya akan dilaksanakan Februari 2022 mendatang membuatnya stress. Meski membuka jasa perbaikan AC dan mesin cuci, hasilnya tidak seberapa dan belum tentu bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Perjalanannya mengawal rekan pendorong gerobak lain, Kuat merasa pekerjaannya seperti dianaktirikan pemerintah. Sejak awal, tidak ada kejelasan nasib pendorong gerobak yang membantu PKL ketika membuka hingga menutup lapak jualan rencana relokasi itu.
Kuat Suparjono memotret bagaimana pendorong gerobak menjadi pekerjaan yang cukup menjanjikan di Malioboro. Pada tahun 1980-an, Kuat yang berusia 12 tahun acap kali melihat orang dewasa mengemasi barang dagangan PKL dengan besek yang ditutup kain terpal di sepanjang Jalan Malioboro.
"Awalnya kan barang jualan ditinggal oleh PKL di lokasi, lalu ada yang bekerja menjadi penjaga masing-masing gerobak itu. Saat akan jualan, yang berjaga ini yang membuka barang jualannya si pemilik gerobak tersebut," kisahnya.
Tahun 1992, camat saat itu melarang gerobak PKL berada di Jalan Malioboro. Pukul 20.00 WIB, semua gerobak harus dibawa pulang. Rembug hingga diskusi dibahas antara pemangku wilayah dan juga PKL. Akhirnya disepakati bahwa gerobak harus disimpan dan penjaga gerobak beralih menjadi pendorong gerobak.
"Kenapa kami ngotot diperhatikan?, karena sejak awal PKL ini tidak lepas dari kami. Ketika PKL direlokasi, pemerintah seharusnya memandang kami juga," harapnya.
Berjuang agar nasib pendorong gerobak untuk bisa bekerja menemukan secercah harapan. Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti mengaku akan memberdayakan para pendorong ini untuk bekerja.
Namun ada persoalan lagi dari pemberdayaan yang direncanakan. Pedagang gerobak akan beralih menjadi penjaga toilet di lapak baru PKL Malioboro bernama Teras Malioboro. Tidak semua dari mereka bisa bertugas di sana.
Kuat menyebut ada sekitar 91 pendorong gerobak. Namun isu relokasi ini menyebabkan beberapa pendorong gerobak memilih hengkang dan pasrah dengan keadaan.
"Sejak awal saya meminta mereka mengumpulkan foto copy KTP. Namun sampai ada rapat terakhir di DPRD DIY itu hanya sebagian orang yang datang dan mengumpulkan. Jadi sekitar 60 orang saja saat ini," ujar dia.
Menyusul tidak semua orang akan menjadi penjaga toilet, pihaknya berharap besar kepada pemerintah memberi lapak di dalam selter sementara yang sebelumnya diresmikan Pemkot, yakni di Teras Malioboro II.
Keinginan itu merupakan opsi terakhir yang diharapkan pendorong gerobak agar pemerintah tak memandang sebelah mata kelompoknya.
"Saya sangat berharap ini menjadi pertimbangan pemerintah. Kami hanya meminta sedikit lapak untuk bisa berjualan. Karena di dalam selter tidak mungkin kami mendorong gerobak lagi," harap dia.
Kuat dan 59 orang lainnya bergantung dengan rasa kemanusiaan Pemkot untuk bisa mengakomodasi harapan mereka. Pihaknya hanya bergantung agar permintaan itu terkabul untuk menyambung hidup pendorong gerobak lebih baik kembali.
Jangan Tutup Mata
Terpisah, Divisi Penelitian LBH Kota Yogyakarta, Era Harivah meminta agar Pemkot Yogyakarta dan Pemda DIY, jangan menutup mata terhadap dampak relokasi ini. Jika relokasi merupakan jalan terakhir untuk menata agar kegiatan berjualan terlihat lebih rapi, civitas yang ada di Malioboro harus diperhatikan dengan serius.
"Jangan sampai ini diabaikan. Jika memang serius lapak itu dibenahi, selain itu komunitas dan pekerja seperti pendorong gerobak ini harus mendapatkan kejelasan. Karena mereka memiliki peran penting di Malioboro itu," kat Era dihubungi wartawan.
Pihaknya akan tetap mengawal para PKL dan civitas yang ada di Malioboro mendapatkan kejelasan nasib untuk bertahan hidup setelah relokasi. Meski permintaan pedagang untuk penundaan hingga lebaran 2022 nanti nyaris pupus, pemerintah tidak mengabaikan masyarakatnya yang terancam tak memiliki pekerjaan ke depan.
"Hal ini akan kami kawal terus. Memang masih ada harapan PKL ini untuk relokasi ditunda. Tapi pemerintah rasanya menutup diri dan tak menerima keluhan PKL selama ini," ujar dia.