SuaraJogja.id - Menanggapi relokasi PKL Malioboro ke Teras Malioboro 1 dan 2, Wali Kota Yogyakarta periode 2001-2011 Herry Zudianto meyakini, penataan kawasan Malioboro tersebut tidak akan mematikan aktivitas ekonomi PKL.
"Saya yakin (tidak mematikan PKL) kalau kita kelola dengan jiwa kewirausahaan," kata Herry Zudianto saat ditemui di Gedung PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Kota Yogyakarta, Kamis.
Menurut Herry, keyakinannya itu berdasar pada pengalaman kala ia merelokasi PKL yang menempati kawasan dekat Taman Pintar ke Pasar Giwangan pada 2004 serta PKL di sepanjang Jalan Mangkubumi ke Pasar Pakuncen pada 2007.
"Saya punya konsepsi bahwa saya pindah itu bukan saya matikan. Begitu saya pindah ke Pasar Giwangan justru bisa jauh lebih baik," kata dia.
Baca Juga:Tanggapi Penataan Kawasan Malioboro, Herry Zudianto Sebut Bahwa Pindah itu Bukan Mematikan
Menurut dia, yang paling penting dicatat adalah PKL yang sebelumnya berstatus nonformal dan keberadaannya tanpa perlindungan hukum, dengan pemindahan itu justru berubah menjadi pedagang formal yang legal.
"Saya itu dulu negosiasinya sampai tengah malam, saya yakinkan 'kowe bakal luwih apik' (PKL bakal lebih baik)," ucap Herry Zudianto.
Ia berharap penataan kawasan Malioboro yang tengah dilakukan Pemda DIY bersama Pemkot Yogyakarta dengan memindahkan PKL ke dua lokasi baru justru membuat Malioboro lebih maju serta memberikan dampak positif bagi pemilik toko maupun PKL.
"Itu pernah saya buktikan, tidak ada yang saya pindah menjadi mati. Malah menjadi lebih besar semua," ucap Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah ini.
Namun demikian, menurut Herry, Pemda DIY perlu meningkatkan promosi dengan meyakinkan pengunjung bahwa dengan penataan itu mereka akan lebih nyaman berbelanja sekaligus merasakan nuansa Malioboro yang lebih bersih dan indah.
Baca Juga:Relokasi PKL, Puspar UGM Berharap Malioboro Tak Diubah seperti Jalan Thamrin Jakarta
Menurut Herry, penataan Malioboro sebagai etalase Yogyakarta tidak berhenti pada aspek ekonomi saja, melainkan lebih luas mencakup aspek seni dan budaya.
"Kalau bisa budaya Yogyakarta juga bisa tertransfer ke wisatawan yang berkunjung. Logikanya pengunjung yang ke Malioboro itu kan 78 persen orang luar," tutur Herry.
Masalah penentuan lokasi PKL atau pertokoan, menurut dia, hanya sekadar berkaitan dengan manajemen. Paling penting, menurutnya, penataan harus berdasar pada konsep Malioboro untuk semua.
"Yang penting adalah konsep Malioboro untuk semua, bahkan tidak hanya bicara untuk perdagangan, tapi juga seni dan budaya bisa tampil di situ. Itulah fondasi dari semua penataan itu," kata dia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM Prof Janianton Damanik berharap kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta pasca relokasi PKL tidak berubah wujud seperti kawasan jalur pedestrian di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit di sisi kanan dan kiri.
Ia juga meminta Pemda DIY tetap menjamin daya jual dagangan PKL Malioboro di Teras Malioboro 1 maupun Teras Malioboro 2 dengan mengoptimalkan strategi promosi.
Pemda DIY, menurut Janianton, bisa mencontoh penataan sentra pedagang burung di Belgia. Kendati direlokasi di tempat yang baru, wisatawan tetap berminat mencarinya lantaran narasi promosi yang dibangun dengan diksi yang tepat. [ANTARA]