SuaraJogja.id - Pakar kebijakan publik UGM Wahyudi Kumorotomo menyebut ada sejumlah hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah terkait dengan kebijakan BPJS Kesehatan yang rencananya akan digunakan menjadi lampiran wajib masyarakat ketika hendak mendapatkan layanan publik.
Pertama adalah meningkatkan istilahnya sistem referensi atau rujukan ketika akan mendapatkan pelayanan yang kelasnya lebih tinggi. Saat itu harus dipastikan bahwa sistem referensi dari faskes yang kecil di tahap pertama, kedua, ketiga sudah berjalan dengan baik.
"Jadi maksud saya kalau saya punya kartu anggota BPJS Kesehatan dan saya hanya sakit masuk angin atau alergi itu ya cukup datang ke puskesmas atau rumah sakit tipe D dulu, sebelum kemudian kalau memang sakitnya lebih berat baru masuk ke tipe B atau A," kata Wahyudi saat dihubungi awak media, Rabu (23/2/2022).
Jika sistem rujukan itu tidak dibenahi tentu kemudian akan berdampak pada BPJS Kesehatan sendiri. Sebab masih ada beberapa kasus di tengah masyarakat yang belum lama menjadi anggota BPJS Kesehatan namun sudah langsung mengajukan klaim dan diberikan.
Baca Juga:Cara Membuat BPJS Kesehatan Bayi Baru Lahir
"Itu yang membuat tombok BPJS Kesehatan sendiri, untuk membiayai berbagai macam klaim dari rumah sakit baik pemerintah atau swasta," sambungnya.
Disampaikan Wahyudi, ketika referal sistem itu jalan kemudian masyarakat juga disosialisasikan tentang kemungkinan kemunculan kondisi adverse selection di dalam dunia asuransi kesehatan.
"Jadi sengaja meminta fasilitas yang nomor satu padahal sebenarnya ya iurannya juga minimal dan sakit yang diderita tidak terlalu parah. Kalau kemudian perlu operasi yang parah berat ya silakan ke rumah sakit tertentu," ucapnya.
"Tetapi kalau sekadar mungkin asam lambung ya sebenarnya di tingkat puskesmas pun itu sudah bisa. Atau di tingkat rumah sakit tipe B dan C sudah bisa. Masyarakat juga sering kali aji mumpung, mumpung ini dijamin sehingga meminta fasilitas yang terbaik. Itu akhirnya ya itu tadi tombok," imbuhnya.
Di satu sisi pemerintah perlu menjalankan pekerjaan rumahnya yang selama ini terbengkalai yakni dengan memperbaiki sistem rujukan tadi. Sekaligus memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar menghindari aji mumpung.
Tidak lupa juga peran pemerintah dalam memperbaiki informasi yang asimetri. Diungkapkan Wahyudi, informasi asimetri itu banyak terjadi karena sebenarnya yang tahu tentang penyakitnya atau riwayatnya itu adalah si pasien sendiri.
"Tapi kan anamnesis atau istilahnya saat berhadapan dengan dokter itu seolah-olah penderita perlu penanganan yang serius yang harus mondok di rumah sakit yang mahal dan seterusnya. Dan dokter juga tidak peduli merekomendasikan itu yang penting nanti rumah sakit itu mendapatkan klaim dari BPJS ya akhirnya biaya kesehatan di Indonesia sangat mahal terutama yang dijamin oleh asuransi," urainya.
Namun, kata Wahyudi sebagian dari persoalan itu sudah cukup diperbaiki oleh pemerintah. Misalnya saja saat ini anggota BPJS Kesehatan sudah tidak bisa langsung klaim seperti dulu.
"Kalau semua itu menyadari dan aji mumpung tadi bisa dikurangi itu, pemerintah juga memberlakukan sistem referal, sistem rujukan secara konsisten itu sebenarnya bisa dihemat atau setidaknya defisit dari BPJS itu tidak terlalu besar. Tapi selama ini kan PR itu sejak tahun 2014 tidak banyak dikerjakan dengan baik sehingga akhirnya nombok terus," urainya.
Berbagai PR dari pemerintah itu bahkan beberapa belum sempat tersentuh untuk diselesaikan. Sehingga terus menumpuk dan menimbulkan persoalan baru lagi.
Wahyudi tidak memungkiri bahwa mengerjakan PR itu memang memerlukan sumber daya manusia yang lebih baik. Di samping juga ketelatenan dan kerja sama dari semua pihak.
"Tampaknya pemerintah tidak cukup telaten terkait itu sehingga tadi mengambil jalan pintas. Lalu 'ya sudah wajibkan saja' untuk mengejar target 98 persen (kepersertaan BPJS Kesehatan) pada tahun 2024," tandasnya.
Untuk diketahui, mulai 1 Maret 2022, kartu BPJS Kesehatan akan menjadi lampiran wajib. Bagi setiap warga yang ingin mendapatkan layanan publik.
Mulai dari pengurusan Surat Izin Mengemudi/Surat Tanda Nomor Kendaraan (SIM/STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian, jual beli rumah, hingga naik haji. Warga diharuskan melampirkan kartu BPJS Kesehatan.
Ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Inpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2022 itu ditujukan kepada sejumlah menteri, Jaksa Agung, Kapolri, pimpinan lembaga, gubernur hingga bupati/wali kota di Indonesia.