SuaraJogja.id - Persoalan sampah di DIY tak kunjung mendapatkan solusi, meski Pemda DIY sudah melakukan berbagai upaya pengelolaan sampah. Hingga kini, sampah rumah tangga masih saja jadi masalah yang sulit ditangani.
Contohnya di Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul. Setiap harinya rumah tangga di kalurahan tersebut menghasilkan ratusan kilogram sampah makanan.
"Kami menemukan fakta sisa makanan warga kita mencapai ratusan kilogram sehari, ini yang terjadi," ujar Lurah Panggungharjo, Wahyudi Anggoro Hadi disela kunjungan Komisi C DPRD DIY, Selasa (28/06/2022).
Miris dengan kondisi ini, kalurahan itu mengembangkan sistem pengelolaan sampah secara mandiri. Dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), warga mendirikan Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (Kupas).
Baca Juga:Mengenal Sambal Pedas Terasi, Pengolahan Sampah Mandiri Balai Kota Yogyakarta
Melalui pengelolaan sampah mandiri itu, warga bisa mendapatkan pemasukan Rp17 juta per bulan hanya dari rosok.
Hingga saat ini sudah sekitar 1.600 keluarga yang menjadi pelanggan Kupas Panggungharjo. Mereka membuang sampah setiap hari sekitar 75 kilogram sebulan untuk setiap Kepala Keluarga (KK).
"Kami mengelola sampah sampai 4,5 ton per hari saat ini, ini juga bisa sekaligus jadi sumber pemasukan," jelasnya.
Dalam pengelolaan sampah tersebut, Panggungharjo membuat sistem retribusi. Setiap kilogram sampah yang dihasilkan rumah tangga dihargai Rp750 ribu.
Bila keluarga yang bersangkutan merasakan retribusi tersebut terlalu mahal, maka pengelola memberikan opsi. Mereka mengurangi sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap harinya.
"Warga juga kami dorong untuk mengurangi konsumsi agar tidak menjadi sampah rumah tangga," jelasnya.
Tak main-main, pemasukan dari pengeloaan sampah di Panggungharjo cukup tinggi saat ini. Dari retribusi dan rosok yang dihasilkan, kalurahan tersebut bisa menghasilkan sekitar Rp60 juta.
Apalagi saat ini warga membeli alat pemilah sampah yang baru seharga Rp 1,8 Miliar. Menggunakan alat tersebut, warga bisa memilah sampah hingga 180 ton perhari atau setara 30 ribu keluarga.
"Bila dioperasikan maka mereka bisa mendapatkan Rp350 juta per bulan dari retribusi maupun rosok. Dengan alat yang baru, sampah yang bisa kita olah 180 ton per hari atau setara 30 ribu keluarga. Kami mulai uji fungsi, besok ujicoba kapasitas full lalu 1 Juli mulai beroperasi dengan baik," paparnya.
Ditambahkan Direktur BUMDes Panggungharjo, Arif Rohman, pemilahan sampah dilakukan warga untuk mendukung industri.
Sampah-sampah yang dihasilkan dipilah menjadi empat jenis untuk meningkatkan nilai sampah seperti plastik, logam, kaca dan kertas. Terdapat empat komoditas yang dihasilkan, yakni rosok untuk industri daur ulang sebesar 15 persen.
Selain itu bubur organik sebesar 60 persen yang mendukung industri pupuk dan peternakan magot. Juga plastik yang memuai panas sebesar 12 persen untuk mensuplai industri komposit.
“Sisanya residu kita ubah menjadi abu untuk kebutuhan lainnya," ujarnya.
BumDes berharap pemerintah daerah berperan membantu menciptakan ekosistem industri. Diantaranya melalui regulasi yang dibangun untuk memperkuat ekosistem rantai pasok industri pengelolaan sampah.
Dengan demikian bila TPST Piyungan kembali bermasalah, warga tetap bisa mengolah sampah secara mandiri. Bahkan komoditas sampah yang mereka hasilkan bisa semakin meningkat.
"Kalau Piyungan tutup itu, kami malah senang karena berarti komoditas sampah dari kami akan bertambah lagi, pemasukan bertambah," paparnya.
Sementara Wakil Ketua Komisi C DPRD DIY, Lilik Syaiful Ahmad mengungkapkan, pengolahan sampah di Panggungharjo bisa menjadi contoh kalurahan lain. Karenanya kebijakan adanya pengelolaan sampah di tiap kalurahan dan desa perlu didorong.
Apalagi DIY memiliki sumberdaya untuk menyelesaikan persoalan sampah. Tinggal keberpihakan kebijakan saja untuk mengarah pada hal tersebut.
"Mestinya ini jadi perhatian pemerintah kita agar sampah selesai sebelum sampai ke Piyungan. DKI dengan Bantar Gebangnya bisa selesai kok mengapa kita tidak bisa," ujarnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi