SuaraJogja.id - Sidang terdakwa kasus eksploitasi anak di Sleman dan Kota Jogja Budi Mulyana (BM) dilanjutkan pada Selasa (22/8/2023). Kali ini persidangan memasuki agenda pledoi atau pembelaan dari terdakwa.
Penasehat Hukum Terdakwa BM, Anargha Nandiwardhana menuturkan ada sejumlah pertimbangan yang seharusnya diperhatikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Termasuk hubungan antara terdakwa dan para pelapor yang disebut merupakan transaksional.
Menurutnya tuntutan hukuman JPU dengan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsidair 6 bulan kurungan dinilai berlebihan. Belum lagi dengan tambahan hukuman kebiri.
"JPU jangan hanya karena mencari pemberitaan media namun mengabaikan fakta persidangan, tuntutan tersebut jelas melanggar hak asasi terdakwa juga tidak mempertimbangkan kondisi terdakwa yang memiliki sakit jantung," kata Anargha saat sidang pledoi, Selasa pagi.
Baca Juga:6 Fakta Predator Seks Cabuli 17 Bocah di Apartemen Sleman: Rekam Aksi Bejat Buat Kenang-kenangan
Di depan Majelis Hakim Aminuddin, tim PH terdakwa meluruskan berita yang beredar selama ini. Terkait dengan pemerkosaan dan atau kekerasan dalam bentuk apapun yang dilakukan terdakwa.
"Bukan terdakwa yang datang kepada anak-anak tersebut. Melainkan para anak-anak inilah yang mendatangi terdakwa dan kemudian menawarkan jasa mereka," paparnya.
Dalam kesempatan ini, Anargha menilai bahwa JPU hanya mengejar pemberitaan saja. Melihat dari tuntutan hukum yang sangat tinggi.
"Kami mohon pihak kepolisian, dan pihak terkait, mengusut tuntas dan membongkar jaringan prostitusi anak yang pada akhirnya menjerat terdakwa. Seret pihak-pihak yang terlibat, supaya dapat terbongkar adanya praktik prostitusi anak di Jogja," tegasnya.
Menutup pledoinya, Anargha mengajukan permohonan pada majelis hakim untuk menghukum terdakwa seringan-ringannya. Termasuk menolak pidana denda serta menolak pidana restitusi atau ganti rugi pada saksi BKW dan NSW masing-masing sebesar Rp 19,36 juta,
Baca Juga:Ada Korban Dewasa, Polisi Sebut Predator Seks di Sleman Bukan Pedofilia
Tidak lupa pihaknya juga menolak pidana kebiri kimia yang dituntutkan kepada terdakwa. Serta membebankan biaya perkara pada negara.
"Terdakwa sakit jantung sudah terpasang dua ring dan seharusnya kontrol di Singapura tetapi tidak bisa karena ditahan," ungkapnya.
Jika dianggap pelanggaran pidana, Anargha justru mempertanyakan JPU yang mengembalikan barang bukti berupa uang 10 Dolar Singapura dari hasil transaksi dengan terdakwa pada saksi BKW.
"Tindakan JPU ini justru mendukung aksi prostitusi anak yang dilakukan para saksi, bahwa hubungan badan yang dilakukan terdakwa dengan saksi adalah sah transaksional, bukan pemaksaan," tandasnya.