SuaraJogja.id - Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 Tahun 1954 tentang Pelarangan Pelacuran di Tempat Umum yang dimiliki DIY didesak untuk segera direvisi. Sebab perda tersebut disebut sudah kadaluwarsa dan tidak relevan diterapkan saat ini.
"Ada banyak hal yang sudah tidak relevan lagi pada perda 18/1954 sehingga tidak hanya perlu direvisi tapi harus diganti," ujar CLO Yayasan Victory Plus, Laurensia Anna Yuliastanti Iriani, dikutip Kamis (13/6/2024).
Dicontohkan pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada HIV/AIDS tersebut, hanya ada enam pasal yang tidak detil. Salah satunya menyebutkan denda bagi pelaku pelanggaran perda tersebut hanya sebesar Rp100.
Perda tersebut juga tidak mengatur adanya prostitusi online yang saat ini tengah marak. Persoalan yang muncul akibat prostitusi seperti kekerasan, bias gender, perdagangan anak dan lainnya juga belum terakomodir perda tersebut.
Baca Juga:Satpol PP Jogja Perketat Patroli, Pembuang Sampah Liar Mulai Kucing-kucingan
"Kemudian prostitusi kan dalam perda ini lebih banyak ke pekerja seks yang diberi sanksi, harapannya pada perda [baru] besok ada aturan bahwa pelanggan disanksi juga," tandasnya.
Bila Pemda DIY tak segera mengubah perda prostitusi, dikhawatirkan angka HIV/AIDS di DIY akan semakin bertambah. Anna meyebutkan, selama enam bulan terakhir, LSM tempat dia bekerja sudah melakukan pendampingan pada lebih 70-100 orang dengan HIV.
Angka ini akan menambah daftar panjang orang dengan HIV/AIDS di DIY. Tahun lalu, Yayasan Victory Plus mendampingi lebih dari 5.000 orang dengan HIV.
"Sementara angka survei terpadu perilaku, angka sipilis [di diy juga] tinggi. Angka hubungan seks tanpa pengamanan juga tinggi dan tempat transaksi seks juga banyak," tandasnya.
Selain pergantian perda, menurut Anna, penutupan lokalisasi seperti yang dilakukan beberapa daerah seperti Surabaya ataupun Bandung tak dilakukan Pemda DIY. Sebab kebijakan tersebut dinilai bukan menjadi solusi yang tepat. Bahkan penutupan lokalisasi di Bandung dan Surabaya menjadikan kasus HIV/AIDS dua daerah tersebut tertinggi di masing-masing propinsi.
Baca Juga:Apindo Yogyakarta: Tunda? Lebih Baik Batalkan Saja Tapera!
Alih-alih mengurangi angka prostitusi di satu daerah, penyebaran Pekerja Seks Komersial (PSK) semakin tidak terkendali. Mereka tidak hanya menjajakan diri secara online namun juga di tempat-tempat lain yang sulit dipantau seperti di salon-salon plus, panti pijat, karaoke hingga pemancingan plus.
"Dolly surabaya atau saritem di bandung memang sudah ditutup tapi kan akhirnya [PSK] ada juga salon dan panti pijat yang buka di sekitar itu, malah tersebar. Kemudian Surabaya angka tertinggi kasus IMS [penyakit kelamin] dan HIV di jawa timur. Di Jabar, angka IMS dan HIV juga tinggi se-Jabar. Karenanya penutupan lokalisasi nggak akan menyelesaikan masalah prostitusi," tandasnya.
Anna menambahkan, alih-alih menutup Pasar Kembang sebagai kawasan lokalisasi, Pemda DIY dan pengambil kebijakan lain mestinya mengatasi masalah prostitusi dari hulu. Terlebih meski Pasar Kembang tak juga ditutup, saat ini ada sekitar 400 titik transaksi seks di DIY yang tersebar di kabupaten/kota.
Perlu kajian dan upaya inovatif untuk meminimalisir prositusi di DIY. Sebab bagaimanapun caranya, prostitusi akan sulit dihilangkan.
Upaya yang bisa dilakukan antara lain edukasi kepada masyarakat untuk tidak menularkan penyakit pada orang lain. Edukasi ini penting mengingat banyak pelanggan PSK yang memiliki resiko tinggi menularkan IMS dan HIV ke keluarganya.
Edukasi juga dibutuhkan karena munculnya prostitusi saat ini bukan semata-mata alasan ekonomi. Pola pikir dan gaya hidup mencari uang secara mudah seringkali menjadikan seseorang memilih menjajakan diri alih-alih bekerja lainnya.
"Hedonisme yang membuat orang malas bekerja keras akhirnya membuat orang jual diri secara online," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi