SuaraJogja.id - Beberapa hari terakhir ramai muncul video di sosial media (sosmed) yang memperlihatkan tangga Bus Trans Jogja yang baru tidak ramah kaum difabel. Padahal transportasi publik ini sangat dibutuhkan mereka karena keterbatasan akses dan mobilitas.
"[Kaum difabel] yang menggunakan kursi roda tuh susah untuk naik turun dari trans jogja, juga ada beberapa ketika denah yang ada di trans Jogja itu tidak ada playernya sehingga teman-teman juga susah. Saat menggunakan kursi roda ketika masuk ke trans Jogja itu, ketinggiannya sangat tinggi sekali [sehingga menyusahkan untuk naik]," papar Project Officer Solider Inklusi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Kuni Fatonah dalam mimbar bebas peringatan Hari HAM Sedunia di kantor DPRD DIY , Selasa (10/12/2024).
Tak hanya tangga yang curam, menurut Kuni, sejumlah hambatan juga seringkali dialami kaum difabel di Yogyakarta. Meski sudah disediakan bidang miring untuk kursi roda, tetapi bidang miringnya terlalu tajam.
Selain itu seringkali jarak bus berhenti di halte juga cukup jauh. Akibatnya kaum difabel kesulitan untuk memasuki bus.
"Kemudian yang kami rasakan adalah ketika ketinggiannya antara halte bus dengan bus yang datang juga berbeda sehingga menyulitkan teman-teman," paparnya.
Karenanya SIGAB menyampaikan masalah tersebut kepada pengelola Trans Jogja. Mereka menyampaikan hambatan yang dialami dalam menggunakan transportasi umum tersebut.
Mereka berharap Pemda DIY lebih memperhatikan kesulitan yang dialami kaum difabel dalam mengakses fasilitas publik.
"Beberapa hal ini sudah kami sampaikan untuk ke depan trans Jogja akan diubah untuk lebih baik lagi agar teman-teman difabel tidak menjadi kesulitan ketika naik trans Jogja," tandasnya.
Selain fasilitas, perlindungan hukum kaum difabel juga sangat dibutuhkan. Sebab kaum difabel, terutama perempuan difabel kerap mendapatkan pelecehan seksual.
Baca Juga:Tuntut Janji Prabowo Hapus Utang, Ratusan Pelaku UMKM Geruduk DPRD DIY
Persepsi tentang kaum difabel yang tidak memiliki kekuatan membuat orang abai pada mereka. Hak-hak kaum difabel pun akhirnya terpinggirkan.
"Karenanya melalui advokasi, diharapkan kasus-kasus kekerasan [terhadap kaum difabel] bisa berkurang dan hak-hak mereka terpenuhi," ujarnya.
Sementara Direktur SIGAB Indonesia, Muhammad Joni Yulianto mengungkapkan dari data yang dikumpulkan SIGAP, pelaku kekerasan mayoritas adalah orang-orang terdekat korban. Mulai dari guru, kakek, hingga paman.
"Korban utamanya adalah perempuan difabel intelektual dan tuli, kelompok yang paling rentan dan sulit mengakses keadilan," ujarnya.
Lembaga pemerintah dinilai belum maksimal memberikan perlindungan. Layanan yang ada kerap tidak terinformasi dengan baik, bahkan dalam proses hukum pun perempuan difabel menghadapi diskriminasi tambahan.
SIGAB Indonesia mencatat dari sejumlah kasus yang mereka tangani, hanya mereka yang mendapat pendampingan yang berhasil menyelesaikan proses hukum. Tanpa advokasi, kebanyakan kasus berpotensi mandek atau bahkan diabaikan.
Karenanya peningkatan edukasi masyarakat terhadap kaum difabel perlu dilakukan. Prosedur hukum yang lebih ramah korban juga dibutuhkan. Sebab mereka sangat memerlukan pendampingan dan penguatan sistem perlindungan spesifik.
"Misalnya dalam proses pemeriksaan, kami kerap harus menyediakan sendiri juru bahasa isyarat. Padahal seharusnya ini menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi