"Karenanya melalui advokasi, diharapkan kasus-kasus kekerasan [terhadap kaum difabel] bisa berkurang dan hak-hak mereka terpenuhi," ujarnya.
Sementara Direktur SIGAB Indonesia, Muhammad Joni Yulianto mengungkapkan dari data yang dikumpulkan SIGAP, pelaku kekerasan mayoritas adalah orang-orang terdekat korban. Mulai dari guru, kakek, hingga paman.
"Korban utamanya adalah perempuan difabel intelektual dan tuli, kelompok yang paling rentan dan sulit mengakses keadilan," ujarnya.
Lembaga pemerintah dinilai belum maksimal memberikan perlindungan. Layanan yang ada kerap tidak terinformasi dengan baik, bahkan dalam proses hukum pun perempuan difabel menghadapi diskriminasi tambahan.
SIGAB Indonesia mencatat dari sejumlah kasus yang mereka tangani, hanya mereka yang mendapat pendampingan yang berhasil menyelesaikan proses hukum. Tanpa advokasi, kebanyakan kasus berpotensi mandek atau bahkan diabaikan.
Karenanya peningkatan edukasi masyarakat terhadap kaum difabel perlu dilakukan. Prosedur hukum yang lebih ramah korban juga dibutuhkan. Sebab mereka sangat memerlukan pendampingan dan penguatan sistem perlindungan spesifik.
"Misalnya dalam proses pemeriksaan, kami kerap harus menyediakan sendiri juru bahasa isyarat. Padahal seharusnya ini menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Baca Juga:Tuntut Janji Prabowo Hapus Utang, Ratusan Pelaku UMKM Geruduk DPRD DIY