SuaraJogja.id - Nostalgia menyertai penutupan Pameran Moda Modif di Rumah DaS, Sabtu (11/1/2025). Digelar secara terbuka, Moda Modif kembali menarik pengunjung dalam dunia yang intim namun segar.
Hadirnya Pasar Setupon mungkin menjadi satu alasan yang esensial. Berbalut konsep kolaboratif, Pasar Setupon menawarkan interaksi yang tidak biasa antara penjual dan pembeli.
Mereka yang akan membeli harus menukar uang terlebih dahulu dengan koin-koin emas. Satu koin dihargai dengan Rp5 ribu saja.
Koin tersebut ibarat kunci dari setiap penjualan serta pembelian yang terjadi. Misal, jika ingin menikmati es puter rasa nangka yang menggugah selera, pengunjung harus memberikan dua koin kepada pembeli.
Baca Juga:Dari Yogyakarta ke Jakarta: Pameran Pendidikan Tinggi Eropa Tawarkan Kuliah Kelas Dunia
Bila yang diinginkan adalah Coto Makassar yang disajikan tak kalah spesial, empat koin perlu diserahkan. Koin-koin yang kerap terlupakan menjadi biduk penting dalam permainan.
Berbicara soal Pasar Setupon, pamornya tidak diragukan lagi di Yogyakarta. Sebagai event pasar alternatif, Pasar Setupon digelar setiap hari Sabtu Pon--sesuai dengan penanggalan di kalender Jawa dan nama yang disandang.
Lantas, apa yang menjadikannya spesial selain soal interaksi dan waktu?
Diamati dan dinikmati oleh Suara Jogja secara langsung, Pasar Setupon bisa disebut keputusan terbaik dari pihak Rumah DaS dalam rangkaian Pameran Moda-Modif.
Selain merangkul penggemar seni, Pasar Setupon bisa merangkul erat mereka yang sekadar datang untuk bersenang-senang. Berjalan ke sana ke mari menyaksikan pernak-pernik hingga bercengkerama bersama kawan lama ataupun keluarga.
Baca Juga:Fambi Mait Teme, Pameran Foto Mengajak Publik Menyelami Solusi Konkret Krisis Lingkungan
Rangkulan dari Pasar Setupon ini seleras dengan konsep blue-economy yang mereka demonstrasikan sedari awal. Konsep di mana diskusi 'terjadi' secara intensional dan santai, baik dalam berbagi ilmu maupun celotehan yang sederhana mengenai kehidupan.
Sisi lain, Pasar Setupon didampingi oleh beragam lokakarya yang menarik. Beranjak dari naungan bawah pohon, ada Pojok Seni Rupa Anak yang digelar di ruang baca.
Anak-anak diajak tidak hanya untuk membuat karya seni. Mereka diperkenalkan dengan sumber dari segala ide untuk seni, termasuk tumbuhan-tumbuhan di Rumah DaS.
Seorang gadis kecil bersama adiknya sempat duduk bersama saya di kursi depan ruang baca. Sembari memegang es puter, ia mengajak saya menelusuri tulang daun di halaman dan mencium aroma samar dari entitas berwarna hijau tersebut.
Ia dan adik kecilnya juga memamerkan hasil karya seni yang mereka buat dengan manis. Dua bunga dibuat dari kertas lipat yang tampak terinspirasi dari apa yang tumbuh di sekitar.
Lebih ke dalam, Secangkir Cengkerama: Sesi Teh Tematis diisi dengan banyak tawa dan rasa penasaran.
Dibawakan dengan menyejukkan, pengunjung diperkenalkan pada bilik di balik daun-daun teh yang kerap diabaikan. Termasuk kaitannya dengan bingkai sejarah yang penuh intrik.
Sedikit beranjak, ada Lokakarya Cetak Saring yang meramaikan penutupan Moda-Modif. Live Coding Music dan Visual dan Lokakarya Watercolor menjadi pernak-pernik lain yang juga dinikmati bersama hingga sore hari.
Meski usai, semangat dari 17 seniman muda yang tertuang dalam lukisan-lukisan serta patung di dalam galeri akan tetap terkenang. Utamanya dengan masifnya upaya pembredelan atas hak orang lain untuk mengekspresikan diri.
Ekspresi harapannya terus diupayakan meski tantangan berdatangan. Ruang-ruang baru akan terus tercipta meski terhalang dengan mata-mata yang mulai dibutakan oleh warna.
Kesenian dari generasi demi generasi akan terus dihidupkan, meski dalam ruang dan waktu yang berbeda. Selamat tinggal, Moda-Modif dan sampai jumpa di perayaan berikutnya.
Untuk informasi yang lebih lanjut mengenai ruang kolaboratif, Rumah DaS, bisa mengunjungi laman resmi www.pojokrumahdas.com. Sementara bagi yang ketinggalan menikmati Pameran Moda-Modif, bisa menilik dalam katalog, bit.ly/e-KatalogPameranModaModif.