SuaraJogja.id - Kebijakan larangan penjualan elpiji 3 kilogram atau gas melon secara eceran sejak 1 Februari 2025 menimbulkan berbagai keluhan dari masyarakat, terutama di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Warga yang tinggal di daerah pegunungan kini harus menempuh jarak cukup jauh untuk mendapatkan gas, yang sebelumnya mudah dibeli di warung-warung terdekat.
Salah satu warga yang terdampak adalah Tanti (29), ibu rumah tangga asal Nglegi, Kapanewon Patuk. Ia mengaku kebijakan ini sangat memberatkan karena harus berjalan sejauh 2 km naik turun bukit untuk membeli elpiji di pangkalan terdekat.
"Biasanya saya kalau mau beli gas cuma jalan sedikit ke warung sudah bisa. Sekarang, harus beli di pangkalan yang jauh dari rumah, kalau jalan kaki jauh naik turun bukit," keluh Tanti pada Senin (3/2/2025).
Keluhan serupa juga disampaikan Aswarani (56), warga Kepek, Wonosari. Ia mengaku kesulitan karena hanya memiliki satu sepeda motor yang digunakan suaminya bekerja.
Baca Juga:Breaking News!: Gempa Mag 5,1 Guncang Jogja, Warga sempat Panik
"Kalau misalnya gas habis tiba-tiba saat memasak, sedangkan motor dipakai suami kerja, saya harus bagaimana? Kalau harus naik ojek ke pangkalan untuk beli gas, jatuhnya lebih mahal. Sudah harga bahan pokok naik, ditambah aturan yang bikin susah," ujarnya.
Bukan hanya ibu rumah tangga, para pedagang kecil juga merasakan dampaknya. Intan Sari (38). pedagang gorengan di Wonosari ini mengeluhkan sulitnya mendapatkan gas untuk usahanya.
"Jadinya susah karena harus beli ke pangkalan dulu. Padahal biasanya sudah ada langganan warung dekat rumah. Ini sudah hampir seminggu warungnya tidak ada stok gas,"katanya.
Intan juga menambahkan bahwa selisih harga antara pangkalan dan warung tidak signifikan. Di pangkalan, gas dijual Rp20.000 per tabung, sementara di warung hanya Rp22.000.
"Kalau dipilih, ya lebih baik beli di warung karena lebih dekat dan nggak ribet. Daripada melarang warung menjual gas, sebaiknya pemerintah memperbaiki distribusi agar gas lebih mudah didapatkan masyarakat," keluhnya.
Baca Juga:Grebek Istri Selingkuh dengan Duda, Suami Syok Temukan Keduanya Setengah Telanjang
Daffa (60), pemilik warung di Jalan Ksatria, Kepek, mengaku kecewa dengan kebijakan ini. Selama ini, banyak warga yang bergantung pada warungnya untuk mendapatkan gas elpiji.
"Hari ini saja sudah ada 15 orang cari gas ke sini. Ya gimana, saya sudah nggak ada stok lagi," ujarnya.
Meskipun harga gas di warungnya sedikit lebih tinggi dibanding pangkalan, Daffa mengatakan warga tidak keberatan karena lokasi warung lebih dekat dan fleksibel dalam waktu pembelian.
Daffa biasanya menjual 15-20 tabung elpiji per hari dengan harga Rp21.000 - Rp22.000 per tabung, sementara harga dari pangkalan Rp20.000.
"Saya hanya ambil untung seribu rupiah saja. Itu juga kalau dari agen gasnya lancar," tambahnya.
Meski keberatan, Daffa mengatakan akan tetap mematuhi aturan tersebut, meski ia belum mempertimbangkan mendaftar sebagai usaha mikro agar bisa menjadi distributor resmi.
Dinas Perdagangan Gunungkidul: Aturan Berlaku Bertahap
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perdagangan Kabupaten Gunungkidul Ris Heryani, membenarkan adanya aturan larangan pengecer ini. Ia menjelaskan bahwa kebijakan tersebut berasal dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan surat edaran sudah diterima dari Pertamina.
"Mulai 1 Februari 2025, distribusi elpiji 3 kg dilakukan langsung oleh pangkalan, tidak diperbolehkan lagi melalui pengecer. Kalau warung ingin menjual gas, harus mengurus izin usaha mikro dulu,"ungkap Ris.
Menurut Ris, pengecer harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan memenuhi ketentuan lainnya untuk dapat mendistribusikan elpiji. Meski aturan ini sudah mulai berlaku, penerapannya dilakukan secara bertahap.
Kontributor : Julianto