SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) memberi kritik keras terhadap pengesahan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Revisi Peraturan DPR tentang Tatib).
Diketahui dalam revisi tersebut tertuang keputusan DPR RI yang menambah kewenangannya dengan dapat mengevaluasi hingga berujung mencopot pejabat negara.
Berlaku kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga hakim Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan, disetujui atau diberikan pertimbangan oleh DPR.
Peneliti PSHK FH UII, Yuniar Riza Hakiki menuturkan bahwa tambahan kewenangan DPR tersebut telah mengeliminasi prinsip pembatasan kekuasaan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan mandat reformasi.
Baca Juga:PSHK FH UII Desak Revisi Peraturan DPR Soal Tambah Wewenang Dicabut
Fungsi pengawasan DPR seharusnya cukup dilakukan dengan mekanisme check and balances yang selama ini dilakukan melalui rapat dengar pendapat dan sejenisnya.
"Kewenangan tambahan tersebut jelas merupakan kegagalan DPR dalam memahami sistem ketatanegaraan di Indonesia," tegas Yuniar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/2/2025).
Disampaikan Yuniar, seharusnya perluasan terhadap kekuasaan DPR dalam mencampuri lembaga lain yang konstitusional hanya terbatas pada apa yang diatur di dalam konstitusi dan Undang-Undang yang mengatur tentang DPR.
Dalam hal itu DPR menjadi salah satu lembaga yang hanya mengajukan, menyetujui dan memberikan pertimbangan kepada calon pejabat indepeden tertentu. Bukan untuk mengevaluasi atau bahkan mencopotnya (Excessive authority of legislative basic function).
"Sehingga selain kewenangan yang telah dibatasi dalam konstititusi, maka penambahan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat lembaga negara yang muncul dalam Revisi Peraturan DPR tentang Tatib merupakan pelampauan kewenangan atau bahkan abuse of power yang inkonstitusional," tuturnya.
Baca Juga:Tambang Dikuasai Asing, Anggota DPR RI Desak Prabowo Bentuk Badan Eksplorasi Nasional
Yuniar bilang sesuai dengan Undang-Undang pada masing-masing lembaga negara tersebut, telah tersedia mekanisme pengawasan atau evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang.
"Sehingga, penambahan kewenangan DPR dalam mengevaluasi bahkan mencopot pejabat lembaga negara merupakan penyelenggaran negara yang salah kaprah, karena mengabaikan prinsip pembatasan kekuasaan, konstitusi dan beberapa undang-undang terkait DPR maupun lembaga negara tersebut," ucapnya.
Peneliti PSHK FH UII lainnya, M Erfa Redhani menambahkan bahwa logika DPR dalam mengatur evaluasi berkala calon pejabat negara yang telah ditetapkan adalah sesat. Sebab aturan itu seolah menyepadankan dengan konsep pergantian antar waktu (recall) anggota legislatif yang identik dengan jabatan politik.
Sedangkan pejabat negara yang proses seleksinya melalui DPR seperti Pimpinan KPK, Komisioner KPU, Bawaslu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi sejatinya bukanlah pejabat politik. Melainkan pejabat negara yang dijamin independensinya dalam Konstitusi.
"Bahwa DPR telah salah dalam meletakkan penambahan kewenangan tersebut. Peraturan DPR tentang Tata Tertib merupakan peraturan internal yang tidak seharusnya mengikat keluar. Muatan penambahan kewenangan seharusnya diatur di dalam Konstitusi atau selevel Undang-Undang," kata Erfa.
Erfa menilai kewenangan tambahan tersebut kental akan kepentingan politik. Tak hanya ingin mengatur dan mengendalikan tapi dapat membungkam dan menelanjangi lembaga negara melalui upaya sentralisasi penyelenggaraan negara hanya melalui jalur politik praktis (politization of state bodies).
"Sehingga telah mengukuhkan DPR sebagi legislative heavy, lembaga super power, yang sangat rentan akan perilaku-perilaku koruptif," sebutnya.