Padahal sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), setiap kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti melalui pelaporan dan pendampingan.
Karenanya DP3AP2 DIY meminta UGM lebih komunikasi dalam melakukan koordinasi yang lebih baik antara pihak kampus dengan lembaga pemerintah.
Apalagi selama ini banyak kampus dan sekolah yang hanya menindaklanjuti kasus kekerasan seksual di tingkat internal.
Kalau kasus tersebut masih bersifat ringan, maka bisa saja diselesaikan di tingkat kampus.
Baca Juga:Komunikasi Pemerintah Disorot: Harusnya Rangkul Publik, Bukan Bikin Kontroversi
Namun bila melibatkan banyak korban dan membutuhkan perlindungan hukum, maka mestinya penanganan kasus bisa dilakukan secara bersama-sama. Sehingga hak-hak korban bisa dipenuhi, termasuk perlindungan hukum.
"Dalam rapat koordinasi dengan PPKS di perguruan tinggi, kami selalu menekankan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani sendiri. Ada hak-hak korban yang harus dipenuhi, termasuk keadilan dan perlindungan. Sayangnya, sering kali kasus-kasus ini ditangani internal tanpa pelibatan kami," tandasnya.
Erlina menambahkan, pihaknya belum dapat memastikan apakah korban bersedia menempuh jalur hukum.
Namun, dia menegaskan pentingnya proses hukum demi memberikan efek jera kepada pelaku. Bila tidak dilakukan, maka sanksi yang diberlakukan kampus pun tidak akan membuat jera pelaku.
"Kalau tidak diproses hukum, bisa saja pelaku mengulangi perbuatannya terhadap korban lain. Walaupun UGM sudah memberikan sanksi berupa pemecatan, tetap harus ada kontrol sosial melalui jalur hukum," ungkapnya.
Baca Juga:Guru Besar UGM Dipecat karena Kekerasan Seksual: Polisi Belum Terima Laporan
Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyatakan memberikan pendampingan korban kekerasan seksual di UGM.