Di bawah spanduk bertuliskan 'Bakso Bang Uyo' nama yang ia pilih karena mudah diingat dan punya nilai marketing tersendiri, tersimpan kisah anak muda yang tidak mudah menyerah.
Memilih untuk berjalan meski jalan tak selalu lapang, percaya bahwa tak ada ilmu yang sia-sia, bahkan jika akhirnya ia berujung di semangkuk bakso sederhana, yang penuh rasa dan cinta.
Di ujung percakapan pun, datang lagi rombongan keluarga yang penasaran mencoba bakso racikannya.
Tangannya kembali meracik kuah, pikirannya mengingat tiap formula ekonomi peternakan, dan hatinya tak henti bersyukur meski langkahnya sudah jauh dari ruang kelas.
Baca Juga:Nasib Penjurusan SMA Terancam? Jogja Krisis Guru BK, Dampaknya Luas
Dika bukan hanya pedagang bakso. Ia adalah penenun mimpi yang menolak malu, yang memilih untuk berdiri tegak di antara warisan keluarga dan ilmu akademik, di sebuah lapak kecil di sisi barat Monjali, tempat di mana harapan mendidih bersama kuah panas yang setia mengepul.