Diplomasi Indonesia Diuji: Mampukah RI Lolos dari Tekanan Trump Tanpa Kehilangan Cina?

Faris menambahkan, bukan hanya sektor perdagangan yang terancam akibat tarif 19 persen tapi juga industri dalam negeri.

Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 16 Juli 2025 | 19:45 WIB
Diplomasi Indonesia Diuji: Mampukah RI Lolos dari Tekanan Trump Tanpa Kehilangan Cina?
Pakar ekonomi internasional dari UMY, Faris Al Fadhat menyampaikan dampak tarif 19 persen AS di Yogyakarta, Rabu (16/7/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan perdagangan terbaru yang kontroversial.

Trump di satu sisi menetapkan tarif bea masuk sebesar 19 persen bagi sejumlah produk asal Indonesia, namun di sisi lain barang-barang asal negara itu dikenakan tarif nyaris 0 persen saat masuk ke pasar domestik Indonesia.

"Ini sebenarnya kebijakan yang sudah bisa kita duga. Amerika memang menerapkan model seperti ini ke semua negara, termasuk Indonesia," ujar pakar ekonomi internasional dari UMY, Faris Al Fadhat di Yogyakarta, Rabu (16/7/2025).

Menurut Wakil Rektor Bidang Pengembangan Universitas, Al Islam dan Kemuhammadiyahan ini, kebijakan Trump disebutnya sebagai bentuk tekanan sepihak yang sulit dilawan.

Baca Juga:Prabowo Didesak Rangkul Pengusaha, Tarif Trump 32 Persen Bisa Picu PHK Massal di Indonesia?

Diberlakukannya tarif rata-rata 19 persen tetap merupakan bentuk pemaksaan.

Trump disinyalir memberlakukan neraca perdagangan antara Indonesia dan AS karena selama ini kebijakan perdagangan yang sudah diberlakukan bertahun-tahun merugikan negaranya.

Produk-produk asal Indonesia dianggap membanjiri pasar Amerika dengan keuntungan besar di pihak Indonesia.

"Padahal kalau kita lihat lebih menyeluruh, Amerika justru diuntungkan. Investasi mereka di Indonesia sangat besar," tandasnya.

Faris menyebut, dari segi total akumulasi, investasi asing terbesar di Indonesia berasal dari AS meskipun secara tahunan tidak selalu nomor satu walaupun mereka sudah masuk sejak tahun 60-an.

Baca Juga:Hemat Anggaran, BKD DIY Pilih Pangkas Rapat dan Perjalanan Dinas, Bukan WFA

Kalau dikalkulasi dari dulu sampai sekarang, AS-lah yang paling besar berinvestasi ke Indonesia.

"Sayangnya, ruang untuk membela diri sangat terbatas. Kita tidak punya duta besar di Amerika. Proses negosiasi juga sangat tertutup. Pemerintah Amerika tidak akan membuka pembicaraan kalau mereka tidak melihat manfaat langsung," ujar dia.

Namun di sisi lain, lanjutnya, Indonesia tidak punya banyak pilihan. Pemerintah RI tidak bisa menerapkan tarif tinggi balik ke barang-barang mereka.

"Itu akan jadi pelanggaran. Kita juga tidak punya kekuatan untuk men-challenge kebijakan ini," ujarnya.

Faris menambahkan, bukan hanya sektor perdagangan yang terancam akibat tarif 19 persen tapi juga industri dalam negeri.

Sebab dengan tarif 0 persen, barang Amerika bisa masuk ke pasar Indonesia dengan harga lebih murah.

Sementara produk Indonesia yang dijual ke Amerika jadi mahal karena kena tarif tinggi.

Persoalan ini dikhawatirkan akan memukul industri lokal.

Namun menariknya, di tengah tekanan dari AS, Cina bisa jadi justru akan mengambil peluang.

Apalagi selama ini negara itu selalu bermain dengan cara halus.

"Ketika negara-negara lain ditekan oleh kebijakan keras seperti ini, Cina bisa saja datang menawarkan pendekatan lunak, skema-skema kerja sama yang lebih fleksibel. Mereka tidak pernah mengancam secara terbuka. Tapi diam-diam membangun pengaruh melalui pendekatan soft power," ujar dia.

Meski Indonesia dirugikan, jika Trump berharap tekanan tarif ini akan membuat negara-negara seperti Indonesia kembali merapat ke Amerika, hal itu tidak akan terjadi. Bahkan bisa sebaliknya bisa jadi boomerang untuk AS.

Negara-negara akan melihat tawaran Cina lebih masuk akal, lebih menghormati mereka.

Bahkan negara-negara sekutu Amerika seperti Eropa dan Australia mulai menunjukkan ketidaknyamanan terhadap kebijakan sepihak Trump.

Karenanya ke depan pemerintah Indonesia harus memainkan peran dengan lebih cerdas dan elegan. Faris mendorong agar Indonesia belajar dari pendekatan negara-negara seperti Singapura yang mampu menjaga hubungan baik dengan dua kekuatan besar dunia.

"Kita ini negara middle power. Kita harus berperilaku sesuai dengan postur itu. Jangan menunjukkan bahwa kita terlalu lemah, terlalu banyak meminta. Kita harus bisa menjaga keseimbangan. Kita tidak bisa memilih salah satu sepenuhnya, karena dua-duanya penting. Kalau kita condong total ke Amerika, kita akan kehilangan Cina, padahal perdagangan kita paling besar dengan Cina," ungkapnya.

Strategi Indonesia ke depan, imbuhnya harus fokus pada dua hal.

Yakni menjaga keseimbangan hubungan luar negeri dan meningkatkan kualitas diplomasi.

"Kalau kita tunduk sepenuhnya ke salah satu pihak, kita akan rugi. Tapi kalau kita bisa membangun relasi yang saling menghormati, baik Amerika maupun Cina akan tetap melihat kita sebagai mitra penting," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak