Dari Garasi ke Gerakan: Kisah Inspiratif Yayasan Literasi Ubah Desa Terpencil di Sleman

LDT terus berkembang dengan turut membangun kepercayaan masyarakat khususnya melalui pendekatan budaya.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Minggu, 20 Juli 2025 | 19:00 WIB
Dari Garasi ke Gerakan: Kisah Inspiratif Yayasan Literasi Ubah Desa Terpencil di Sleman
Sejumlah peserta dan warga mengikuti kegiatan Yayasan Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Di sebuah sudut Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, tumbuh sebuah gerakan literasi akar rumput yang tak biasa.

Hanya berawal dari sebidang lahan seluas 1.800 meter persegi, gerakan ini lahir bukan dari program pemerintah. Melainkan dari kegelisahan seorang warga pada kurangnya ruang tumbuh anak-anak di desanya.

Yayasan Literasi Desa Tumbuh (LDT) namanya. LDT lahir dari keprihatinan Desy Ery Dani, mantan dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro yang kini berdomisili di Singapura.

Saat berlibur bersama ketiga anaknya di Betakan pada pertengahan 2024, ia melihat langsung minimnya akses anak-anak terhadap buku bacaan yang berkualitas.

Baca Juga:Sleman Perluas Jangkauan Bus Sekolah Gratis: Prioritaskan Lereng Merapi & Prambanan

Ia mencoba untuk menaruh kotak berisi buku di garasi dengan harapan ada anak-anak yang kemudian tertarik untuk mampir membaca.

Namun sang suami, Nur Huda Ismail, yang kini sebagai pendiri Yayasan Literasi Desa Tumbuh (LDT) tak puas dengan aktivitas itu.

Huda memutuskan untuk mendirikan yayasan dan merancang gerakan literasi yang berkelanjutan dengan melibatkan warga.

"Aku bilang, kalau kayak begini [hanya di garasi] nggak akan ada terjadi perubahan, kita harus bikin gerakan. Makanya kita ubah, aku jadikan yayasan ini dan fokusnya literasi, desa tumbuh literasi, desa di desa, tumbuh ya sustainability," kata Huda saat ditemui di Yayasan LDT, Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025).

Setiap Sabtu, puluhan anak-anak dari sekitar dusun berkumpul di halaman LDT untuk membaca dan berkegiatan. Kegiatan itu kini sudah berlangsung lebih dari 50 kali sejak setahun lalu.

Baca Juga:Aksi Nekat di Sleman Berujung Apes, Pencuri Kepergok, Barang Curian Ditinggal

LDT terus berkembang dengan turut membangun kepercayaan masyarakat khususnya melalui pendekatan budaya.

Tak hanya menjadi ruang bertumbuh dan membaca anak-anak, LDT turut menjadi ruang kreatif dari ibu-ibu dan masyarakat desa.

Huda meyakini bahwa literasi bukan hanya soal membaca buku melainkan juga mencakup literasi emosional, finansial, seni, kuliner, hingga ketahanan keluarga.

Berbagai lokakarya pun dihadirkan mulai dari parenting hingga keterampilan praktis berbasis tradisi lokal.

"Ada penggerak ibu-ibu, yang masak-masak misalnya, itu penggeraknya selalu dengan ibu-ibu, karena ibu-ibu ini narasinya kan ketahanan pangan," ungkapnya.

Ia juga menggandeng para ahli untuk memperkuat kegiatan pemberdayaan desa yang berakar dari lokalitas.

Ruang LDT kini pun juga memperkenalkan konsep green place making yang mana tidak ada pohon yang ditebang dalam proses penataan dan pembangunan ruang tersebut.

"Ini nggak ada satu tanaman di situ yang dipotong. Daun jatuh nanti di belakang dikelola, udah ada komposting," imbuhnya.

Kegiatan Yayasan Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]
Kegiatan Yayasan Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]

Fokus Rangkul Kaum Marjinal

Huda menegaskan bahwa Yayasan LDT punya semangat inklusif yang kuat. Terlebuh fokus utamanya adalah kaum marjinal atau mereka yang kerap terpinggirkan dari akses pendidikan, sosial dan ruang aman berekspresi.

"Jadi aku fokusnya memang marginalized community ini. Kelompok marjinal," ucapnya.

Barang-barang yang digunakan pada hampir seluruh area LDT pun sebagian besar merupakan barang bekas yang dikurasi dan diperbaiki ulang.

"Narasi yang kita bangun, itu adalah kesempatan kedua. Jadi semua barang-barang di sini itu, semua kan bekas, arang elek. Tapi kalau kita atur, kita kurasi," tandasnya.

Apalagi ketika melihat tepat maka Dusun Betakan, Sumberahayu, Moyudan ini bisa dibilang salah satu yang berada di ujung Sleman. Jauh dari hiruk pikuk dan kemewahan di kabupaten kota.

Ada beberapa daerah yang itu tidak beruntung wilayahnya, seperti kita ini. Tidak beruntung apa aja. Jauh dari pusat Sleman, Dan seringkali terabaikan.

"Jadi apapun yang kita lakukan itu ada aspek literasi. Literasi itu tadi sampai ada refleksi. Orang-orang sudah ngumpul bermain di sini saja sudah senang banget. Minimal, standar lah, resik [bersih]," tegasnya.

Literasi Masih di Bawah Nasional

Christina Rini Puspitasari, selaku Kabid Pembinaan dan Pengelolaan Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sleman, menilai kegiatan semacam ini menjadi energi baru dalam gerakan literasi.

Apalagi jika melihat tingkat kegemaran membaca (TGM) di Sleman masih berada di bawah rata-rata secara nasional.

"Kalau pusat sekitar 7,6 kalau kita sekitar 6,8. Ya ini gayung bersambut dengan kegiatan seperti ini, action langsung dan malah diinisiasi swasta dan bagus sekali," ujar Christina.

Diungkapkan Christina, dari data TGM tahun 2024 lalu justru menunjukkan variasi antar Kapanewon di Sleman.

Kapanewon Moyudan bahkan mencatat TGM tertinggi, sementara Kapanewon Depok yang notabene berada di pusat Sleman memiliki TGM terendah.

"Di Moyudan angka literasinya kegemaran membaca lebih tìnggi loh dibandingkan Depok," ucapnya.

Diakui Christina ada beberapa faktor kemungkinan tingkat TGM di suatu daerah terbilang rendah atau di bawah rata-rata nasional.

Mulai dari indikator yang ditambah hingga kondisi perpustakaan daerah yang memang benar-benar sepi.

"Kalau di Sleman secara fisik memang kurang bagus sehingga dikejar dari berbagai kegiatan, armada perpustakaan keliling ke sekolah-sekolah dan sebagainya. Kita juga sedang upayakan agar perpustakaan fisik di Sleman bisa untuk nugas, rapat, menyalurkan bakat," ungkapnya.

Menurutnya memang perpustakaan kini mulai bertransformasi.

Jika dulu hanya digunakan sebagai tempat meminjam dan menyimpan buku tapi kini perpustakaan bisa memiliki makna yang lebih luas.

Sehingga diharapkan ke depan dari kegemaran membaca yang tumbuh itu menjadi jalan pula bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan.

"Kreasi dan inovasi dari sebuah kegiatan yang bernuansa literasi, itu akan ada banyak hal yang bisa dikembangkan tak hanya buku, tari, hingga ibu-ibu memasak. Dari baca menjadi karya. Kalau kita senang membaca pasti tidak bisa terkena hoaks," ucapnya.

Sejumlah ibu-ibu mengikuti pelatihan kuliner yang dihelat Yayasan Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]
Sejumlah ibu-ibu mengikuti pelatihan kuliner yang dihelat Yayasan Literasi Desa Tumbuh di Dusun Betakan, Sumberahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman, Minggu (20/7/2025). [Hiskia/Suarajogja]

Warga Berperan Aktif

Yayasan Literasi Desa Tumbuh bukan hanya tentang buku dan bacaan.

Ada peran aktif masyarakat di kampung untuk tumbuh bersama dalam semangat gotong royong dan cinta ilmu.

Seperti salah satu warga, Fauziah yang sukarela bersama warga lain membantu berbagai kegiatan di LDT.

Warga yang pernah menjadi TKI di tiga negara ini menilai LDT adalah ruang pulang yang memberi harapan baru. Terlebih di kampung mereka yang berada di ujung kabupaten.

"Ya kita gotong royong, membantu apa adanya. Kita berharap nantinya kampung kita bisa lebih banyak mendatangkan orang, banyak masyarakat yang dikenal, kemudian menumbuhkan perekonomian, itu harapan besarnya," ucap Fauziah.

Sebuah gerakan yang bermula dari cinta, kini menjadi ruang belajar, berbagi, dan bermimpi bersama.

Melalui pendekatan lintas usia, lintas profesi, dan lintas sektor, LDT laiknya oase kecil di pojok Bumi Sembada.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak