Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 07 Februari 2020 | 15:04 WIB
Ilustrasi klitih - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

"Klitih itu memiliki arti yang bagus sebenarnya, namun sekarang malah beralih fungsi. Jadi mereka mencoba menunjukkan eksistensinya dengan mengambil baju atau identitas pelajar lain, lalu diviralkan dan terlihat gagah. Nah saat ini pelajar yang identitasnya akan direbut itu melawan. Sehingga mereka menggunakan senjata tajam untuk merebut. Karena pelajar lain tidak terima akhirnya mencari orang yang pernah melukai dirinya atau anggota gengnya tadi. Karena mencari pelaku dengan ciri-ciri yang mirip serta informasi yang minim akhirnya salah sasaran. Korbannya ada mahasiswa sampai masyarakat, jadi sasarannya meluas," kata dia.

Rudi membeberkan selain faktor eksistensi, balas dendam juga menjadi faktor terjadinya kejahatan jalanan klitih. Pada beberapa kasus pelaku ada yang menanyai identitas sekolah pelajar yang melintas di jalan raya.

"Tidak semua pelaku mencari korban di tempat yang gelap dan sepi. Mereka (pelaku) ada yang terlebih dahulu menanyakan asal-usul orang yang ditemui seperti dimana sekolahnya berasal, atau tergabung dalam geng apa. Jika memang bukan antar sekolah yang memiliki masalah, pelaku ini tidak melakukan serangan," tutur Rudi.

Iapun menegaskan bahwa partisipasi masyarakat baik dari pihak RT, RW, Lurah dan Camat terjun melakukan pencegahan bersama-sama. Bukan hanya sekolah namun seluruh lapisan masyarakat bisa ikut andil.

Baca Juga: Keren, Begini Penampakan Tugu Jogja Tanpa Kabel dan Papan Reklame

Rudi menyebut jika Gubernur DIY sudah memberi atensi untuk penanganan klitih. Nantinya akan dibentuk juga Kelompok Kerja untuk menciptakan Peraturan Gubernur (Pergub) yang akan dibuat untuk menangani masalah penganiyaan tak bermotif ini.

Masalah klitih sejatinya sempat mengalami penurunan hingga 50 persen pada kurun 2017-2018 lalu. Rudi menyebut saat itu, Polda DIY melakukan kerjasama dengan pemerintah yakni Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) DIY. Dalam kerjasamanya dibuat sebuah Memorandum of Understanding.

"Jadi Disdikpora berkontribusi dengan membuat Waka Kesiswaan di tiap sekolah tingkat SMA. Selanjutnya dari kepolisian membuat program Satu Sekolah Dua Polisi (SSDP)," jelasnya.

Selama MoU tersebut mengikat, polisi ditempatkan di sekolah-sekolah rawan klitih. Berfungsi mengawasi anak-anak yang diduga masuk dalam sebuah geng sekolah.

"Tindakan ini cukup ampuh hingga menurunkan jumlah kejahatan jalanan yang dilakukan para pelajar. Perlu diketahui faktor munculnya klitih memang banyak. Pertama keluarga yang tidak harmonis, adanya geng sekolah dan juga faktor lingkungan. Nah dari hal yang kami catat ini secara jelas ada peran dari lembaga, lingkungan serta orang tua sendiri untuk menangani masalah kejahatan jalanan itu," terangnya.

Baca Juga: Sempat Vakum di 2019, Festival Melupakan Mantan Bakal Hadir Lagi di Jogja

Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Ari Sujito mengatakan munculnya masalah klitih yang didominasi oleh pelajar bisa jadi karena mereka ikut-ikutan. Di sisi lain faktor tak ada perhatian juga menjadi sebab pelajar memilih mengekspresikan lewat hal negatif.

"Ada yang memang ingin ikut-ikutan, bisa jadi karena terekslusi, tidak terpakai atau dikucilkan dari lingkungan sekolah juga bisa. Jadi nantinya (sekolah) bisa mengelompokkan mereka untuk ditangani," kata Ari.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Sujito memberi keterangan kepada wartawan pada kegiatan FGD penanganan penganiayaan tanpa motif di Gedung Anton Soedjarwo kompleks Polda DIY. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Ia menambahkan bahwa pembinaan pelajar, tak harus berpatok pada hukum. Artinya bakat atau energi pelajar tersebut disalurkan kepada hal lain, dimana kesenangan pelajar difasilitasi pihak sekolah.

"Memang tak dipungkiri remaja dengan usia menjadi dewasa akan bertemu dengan masalah yang berbahaya di luar, seperti penggunaan narkoba, miras dan lainnya. Hukum perlu diberlakukan di sana, tapi harus ada juga pendekatan kebudayaan serta edukasi yang dilakukan sekolah," jelasnya.

Membahas soal penganiayaan tanpa motif, Ari menerangkan memang terjadi regenerasi kekerasan. Namun pola yang terjadi saat ini berubah.

"Jadi hanya untuk iseng-iseng, gaya-gayaan, orang keluar saat belanja dilukai. Melihat pola sebelumnya mereka tahu lokasi berkumpulnya serta simbol yang dipakai (musuhnya). Saat ini mereka tak bisa mendiagnosis (lawan) hanya melihat dari media (hingga salah sasaran)," jelas Ari 

Load More