Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 07 Februari 2020 | 15:04 WIB
Ilustrasi klitih - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

"Memang patroli setiap malam dilakukan kepolisian. Selain itu setiap malam Minggu dan Malam Senin patroli besar, ketiga sudah ada lokasi-lokasi kejadian yang menjadi atensi aparat kepolisian," ucapnya.

Patroli yang selalu dilakukan kepolisian memang tidak langsung menemukan para pelaku. Bahkan polisi kerap kecolongan. Rizki mengaku bahwa pihaknya juga tidak bisa memastikan wilayah mana saja yang dijadikan lokasi kejahatan. Sebab ketika telah dilakukan patroli, pelaku berpindah ke tempat lain alias acak. 

Sementara itu Dir Binmas Polda DIY, Kombes Pol Rudi Heru Susanto menyebut Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), menjadi ajang dimana oknum pelajar merekrut pelajar baru untuk bergabung di sebuah kelompok sekolah atau geng.

"Memang benar ada regenerasi sebuah kelompok (geng). Ketika pelajar baru yang dirasa cukup mumpuni, berprilaku sedikit urakan, terlihat nakal, direkrutlah dia ke dalam geng. Atau para senior yang sudah lulus dari sebuah sekolah mengompori junior di bawahnya jika mereka pernah mengalahkan pelajar dari sekolah lainnya," terang dia.

Baca Juga: Keren, Begini Penampakan Tugu Jogja Tanpa Kabel dan Papan Reklame

Munculnya geng-geng tersebut dijadikan tempat para pelajar ini menunjukkan eksistensinya. Rudi menuturkan saat pelaku dapat mengambil atau melukai musuhnya dan memviralkan di jejaring sosial, itu menjadi bentuk kepuasan para anak-anak itu. 

"Klitih itu memiliki arti yang bagus sebenarnya, namun sekarang malah beralih fungsi. Jadi mereka mencoba menunjukkan eksistensinya dengan mengambil baju atau identitas pelajar lain, lalu diviralkan dan terlihat gagah. Nah saat ini pelajar yang identitasnya akan direbut itu melawan. Sehingga mereka menggunakan senjata tajam untuk merebut. Karena pelajar lain tidak terima akhirnya mencari orang yang pernah melukai dirinya atau anggota gengnya tadi. Karena mencari pelaku dengan ciri-ciri yang mirip serta informasi yang minim akhirnya salah sasaran. Korbannya ada mahasiswa sampai masyarakat, jadi sasarannya meluas," kata dia.

Rudi membeberkan selain faktor eksistensi, balas dendam juga menjadi faktor terjadinya kejahatan jalanan klitih. Pada beberapa kasus pelaku ada yang menanyai identitas sekolah pelajar yang melintas di jalan raya.

"Tidak semua pelaku mencari korban di tempat yang gelap dan sepi. Mereka (pelaku) ada yang terlebih dahulu menanyakan asal-usul orang yang ditemui seperti dimana sekolahnya berasal, atau tergabung dalam geng apa. Jika memang bukan antar sekolah yang memiliki masalah, pelaku ini tidak melakukan serangan," tutur Rudi.

Iapun menegaskan bahwa partisipasi masyarakat baik dari pihak RT, RW, Lurah dan Camat terjun melakukan pencegahan bersama-sama. Bukan hanya sekolah namun seluruh lapisan masyarakat bisa ikut andil.

Baca Juga: Sempat Vakum di 2019, Festival Melupakan Mantan Bakal Hadir Lagi di Jogja

Rudi menyebut jika Gubernur DIY sudah memberi atensi untuk penanganan klitih. Nantinya akan dibentuk juga Kelompok Kerja untuk menciptakan Peraturan Gubernur (Pergub) yang akan dibuat untuk menangani masalah penganiyaan tak bermotif ini.

Load More