Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 07 Februari 2020 | 15:04 WIB
Ilustrasi klitih - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

Ia menjelaskan  pemberantasan masalah klitih saat ini cukup sulit, Ari menyebut persoalan klitih sudah cukup kompleks sehingga bukan polisi saja yang perlu turun tangan.

"Lingkungan yakni kampung juga harus terlibat untuk menekan masalah ini. Jadi melakukan diagnosis kepada remaja. Ajak mereka dalam sebuah arena, buat sanggar, adakan lomba, masukkan dalam komunitas. Saya yakin anak (prilaku) bisa diubah jika seluruh elemen ini ikut andil," kata dia.

Pihaknya menegaskan bahwa persoalan klitih di Yogyakarta menjadi isu prioritas yang perlu ditangani. Menyelesaikanya perlu dilakukan jangka pendek, jangka menengah hingga jangka panjang. Untuk jangka pendek memang terdapat di ranah hukum, sehingga polisi yang harus turun tangan memastikan keamanan tersebut.

Jangka menengah dan panjang ini bagaimana seluruh stakeholder bisa terlibat. Melibatkan anak remaja sendiri untuk dirangkul menyelesaikan masalah klitih, kata Ari jauh lebih penting.

Baca Juga: Keren, Begini Penampakan Tugu Jogja Tanpa Kabel dan Papan Reklame

"Sekolah harus memiliki persepsi positif agar tak disalahkan terus. Memang saat ini sekolah yang cenderung disalahkan, namun sejatinya tidak demikian. Maka keterlibatan kampung juga perlu ikut andil, stigma anak remaja jangan selalu disalahkan. Beri mereka ruang termasuk bakat yang mereka miliki difasilitasi," katanya 

Lebih lanjut, Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada, Suprapto mengatakan bukan hanya pemerintah dan polisi untuk menyelesaikan masalah klitih. Namun peran keluarga dan komunitas bisa jadi faktor untuk memutus rentetan masalah tersebut.

Berbicara soal klitih, Suprapto menyebut bahwa awalnya makna klitih ini cukup positif. Klitih merupakan sebuah aktivitas untuk mengisi waktu luang dimana diisi dengan kegiatan positif. Namun seiring berjalan waktu ada pergeseran makna dari kata tersebut. Klitih berubah makna ketika diadopsi oleh para remaja sebagai kegiatan mencari musuh.

"Sebelumya artinya positif. Tetapi ketika klitih itu diadopsi oleh anak remaja, mereka menggeser maknanya, pertama memang keliling-keliling kota naik sepeda motor. Tetapi tidak sekadar keliling-keliling kota, lebih dimaknai sebagai kegiatan mencari musuh," ungkapnya.

Motif di balik aksi ini sendiri, menurutnya, cukup beragam. Sebelumnya, aksi ini dikaitkan dengan upaya untuk melakukan balas dendam. Namun, aksi klitih saat ini yang dilakukan seorang remaja untuk mencari musuh dan menunjukkan eksistensi atau untuk melampiaskan kekecewaan dalam kehidupan mereka.

Baca Juga: Sempat Vakum di 2019, Festival Melupakan Mantan Bakal Hadir Lagi di Jogja

Suprapto menggarisbawahi peranan keluarga memang cukup penting untuk menekan masalah sosial tersebut. Ketika fungsi di dalam keluarga seperti sosialisasi kebudayaan, norma, hingga nilai perlindungan terpenuhi, seorang anak akan lebih nyaman berbicara kepada orang tua di dalam keluarganya ketika mendapat perlakuan negatif.

Load More