Scroll untuk membaca artikel
Tim Liputan Khusus
Selasa, 21 September 2021 | 12:25 WIB
Tugu Pal Putih Kota Yogyakarta alias Tugu Jogja - (SUARA.com)

Salah satu contoh dokumen kekancingan yang dilihat tim kolaborasi diterbitkan pada 21 Desember 2016. Kekancingaan berupa penggunaan tanah seluas lebih kurang 38,9 meter persegi di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul oleh perseorangan. Kekancingan berlaku untuk jangka waktu 10 tahun hingga 2026. Sementara kolom jumlah uang pisungsung yang harus dibayarkan pertahun dikosongkan. Total nominal selama sewa 10 tahun juga tidak dicantumkan.

“Saya enggak paham hitungannya berapa. Enggak ngerti,” kata dia.

Tidak hanya perseorangan, Dispertaru DIY juga bisa membantu merekomendasikan kekancingan tanah SG yang digunakan oleh pemda. Sebelumnya akan dipastikan keuntungan yang diterima dari penggunaan SG itu.

“Misalnya untuk dinas pasar. Itu kan ada profit. Mungkin pisungsungnya agak tinggi. Tapi kalau non profit, misalnya Dinas Pendidikan, sepertinya enggak ada. Tapi penentuan (nilai kekancingan) tetap dari keraton,” ujar dia.

Baca Juga: LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara

Usai menggunakan lahan SG selama 10 tahun, penyewa bisa memperpanjang kembali dengan mengurus ke Tepas Panitikismo. Kepemilikan kekancingan dirasa Ajie cukup penting di DIY. Selain untuk menghindari konflik, juga untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Yang pasti data ya. Di daerah mana, sudah ada kekancingan. Untuk mengurangi konflik, enggak tumpang tindih. Jangan ada yang satu sudah minta, lalu ada orang lain minta juga. Kalau dinas misalnya, untuk menaikkan akreditasinya. Butuh dokumen kekancingan. Kan alas hak atas tanah. Kalau dari swasta, IMB juga butuh kekancingan. Kalau enggak ada bukti kekancingan atau alas hak, enggak bisa urus IMB,” ujar dia.

Menurut Staf Tepas Panitikismo Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryo Satriyanto tanah desa tidak pernah mendapat kekancingan. Melainkan izin gubernur yang menjadi dasar hukum penggunaan tanah tersebut. Lantaran sebelumnya kasultanan sudah memberikan hak anggaduh kepada desa berdasarkan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918.

“Tidak (ada kekancingan). Tanah desa dengan izin gubernur. Jadi pegangan penyewa adalah izin gubernur. Untuk keluar izin gubernur perlu rekomendasi dari kasultanan,” ungkap Suryo.

Saat ini, keraton tengah memperbarui surat kekancingan yang baru. Sebelumnya hanya berbentuk lembar form kertas biasa. Pada 2021, kekancingan dibuat dalam bentuk seperti sertifikat tanah. Suryo menyebut nantinya bersampul warna merah dan berlambang Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baca Juga: Top 5 SuaraJogja: Ganjar Terancam Sanksi PDIP, Khotbah Pendeta Soal Muhammadiyah

Sudah ada tiga kekancingan yang dibuat ketika almarhum Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto masih menjabat sebagai Penghageng Tepas Panitikismo.

Load More