Hal itu bermula saat dirinya tengah mengurus berkas di sekretariat fakultasnya. Saat itu, mahasiswi 23 tahun ini bertemu dengan seorang petugas di bagian administrasi. Namun saat menunggu di ruangan, petugas jaga yang diketahui pria ini memandang bagian ujung kaki hingga kepala Anggun.
"Selama berkuliah di sana baik candaan yang mengarah kepada hal sensual ini tidak pernah saya alami. Tapi misalnya dilihatin dari ujung kaki sampe ujung kepala sama Staff itu pernah. Jadinya karena dilihatin seperti itu ada rasa kurang nyaman dan berusaha menghindari," kata Anggun.
Meski begitu dirinya tak ingin berfikir negatif terhadap staff tersebut. Hanya saja untuk bertemu kembali dengan staff tersebut dirinya memilih menghindar.
"Enggak, hanya merasa risih aja, soalnya bapaknya disitu udah lama bekerja, dikenal baik. Maksudnya kadang ada pikiran tidak mungkin bapaknya seperti itu. Padahal kita tidak tahu kan, apa hanya kita yang merasa risih. Masih ragu juga," jelas mahasiswa yang mengambil jurusan Ilmu Komunikasi itu.
Baca Juga:Lebaran di Tengah Pandemi, Jasa Penukaran Uang di Jogja Sepi Peminat
Penyintas Tak Berani Lapor karena Faktor Relasi Kuasa yang Timpang
Konselor Psikologi dari Rifka Anissa Women's Crisis Center, Indiah menyebut pelecehan seksual sangat berpotensi terjadi di lingkungan pendidikan karena adanya relasi kuasa yang sangat timpang. Sementara, di sisi lain pelecehan seksual masih dipandang sebagai hal yang tabu.
"Pertama ada konstruksi gender yang menempatkan perempuan sebagai objek, termasuk objek seksual dan adanya nilai-nilai yang menganggap hal tersebut sebagai hal normal. Selanjutnya, faktor lain seperti adanya relasi kuasa yang timpang, baik dari hubungan atasan-bawahan, senior-junior atau yang lain," ungkapnya.
Selain itu, belum adanya sistem yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual membuat institusi pendidikan nampak kebngungan dalam menyikapinya.
Sehingga dengan tidak adanya sistem yang jelas mengatur hal ini, membuat banyak korban pelecehan seksual memilih diam dan tidak menceritakan kasusnya. Hal inilah yang kemudian menurut Indiah bisa berdampak pada semakin besarnya kemungkinan pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Baca Juga:Curhat Buruh Gendong Jogja, Bawa Barang 50 Kg Hanya Dibayar Rp 5 Ribu
"Alasannya karena tidak ada jaminan kasusnya bisa diselesaikan," ujarnya.
Indiah berpandangan, sebagian besar kampus belum secara gamblang mengatur pelecehan seksual secara khusus sehingga masih tercampur dengan aturan pelanggaran etika.
"Pelecehan seksual kadang dipandang sebagai pelanggaran etika dan norma, sehingga korban juga disalahkan bahkan dihukum. Pandangan ini perlu diubah. Disitulah penting ada aturan sendiri untuk menyamakan pandangan tentang kekerasan seksual," pungkasnya.
Liputan khusus tentang kasus pelecehan seksual di kampus Jogja ini ditulis tim Suarajogja.id, Muhammad Ilham Baktora dan Nurhadi