Komunitas Waria Warkop, Melawan Stigma dengan Karya dan Aksi Sosial

Selain bergerak dalam bidang kesenian, komunitas waria ini juga kerap menggelar kegiatan sosial.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 12 September 2020 | 14:06 WIB
Komunitas Waria Warkop, Melawan Stigma dengan Karya dan Aksi Sosial
Sejumlah anggota komunitas waria kulon progo saat mengikuti kegiatan seni. [dokumentasi pribadi]

SuaraJogja.id - Matahari mulai merambat pelan turun dari singgasananya. Langit pun perlahan mulai berganti warna menjadi oranye.

Tepat saat jarum jam menunjukkan pukul 17.39 WIB, dari kejauhan, terdengar suara motor yang menghampiri ke warung kelontong kecil yang terletak di Jalan Tentara Pelajar Beji, Wates.

Masih dengan menggunakan celana pendek dan baju berwarna biru lengan panjang bermotif kotak-kotak, sosok bernama Diana itu bergegas membuka pintu warung dan menurunkan tutup jendela yang sebelumnya terpasang.

Dengan mengambil segelas air, Diana kemudian menempatkan posisinya agar bisa duduk nyaman di kursi kecil di dalam warungnya itu. Dikeluarkanlah sebuah tas kecil berisi kumpulan kosmetik.

Baca Juga:Tiga Pasien Positif Covid-19 Asal Kulon Progo Dinyatakan Sembuh

Dengan lentik, tangannya mulai membersihkan wajahnya menggunakan pelembab wajah. Setelah bersih wajahnya kemudian disapu menggunakan foundation sedikit demi sedikit.

Setelah beres, sebagai sentuhan akhir, Diana melapis wajahnya menggunakan bedak dan lipstik warna merah muda untuk mempercantik bibirnya. Ditambahkan pula eyeliner dan eyeshadow sebagai pemanis. 

"Ini sudah selesai kok. Ngga usah pakek lama-lama soalnya ini kita hanya dandan untuk hari biasa bukan untuk pentas," ujar Diana kepada SuaraJogja.id, Minggu (30/8/2020).

Diana adalah salah satu waria yang berada di wilayah Kulon Progo. Ia menjadi salah satu penggagas terbentuknya komunitas Waria Kulon Progo (Warkop).

Di warung kelontong pinggir jalan di daerah Wates itulah, kegiatan Warkop dilakukan. Mulai dari hanya sekadar berkumpul hingga melakukan kegiatan sosial untuk masyarakat sekitar.

Baca Juga:Bak Ngopi di Atas Awan, Begini Indahnya View Coffee Angkasa Kulon Progo

Pemilik nama lengkap Diana Mariska (47) (bukan nama asli) ini menceritakan bahwa Warkop terbentuk setelah ia dan beberapa rekan lainnya melihat tidak terkoordinirnya para waria yang ada di Kulon Progo. Selain menyebar di berbagai tempat mereka juga tidak mempunyai satu kegiatan atau tujuan yang seragam.

Sejumlah anggota komunitas waria kulon progo saat mengikuti kegiatan seni. [dokumentasi pribadi]
Sejumlah anggota komunitas waria kulon progo saat mengikuti kegiatan seni. [dokumentasi pribadi]

"Tanggal pastinya saya lupa, tapi perkiraan sekitar 2011 atau 2012 yang lalu dan ada saksinya juga dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta," ungkapnya.

Ketika ditanya mengenai diakui atau tidaknya komunitas ini, Diana menjawab hal itu memerlukan proses yang panjang terkait dengan masalah perizinan. Itu yang masih menghambat teman-teman Warkop untuk mengurus izin tersebut.

Namun saat ini Warkop berada di bawah naungan Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) yang menurutnya sudah mendapat pengakuan di pemerintahan yang dapat ditunjukkan dari sertifikat atau berkas lain sebagai bukti yang kuat. Saat ini teman-teman Warkop juga masih mengusahakan hal tersebut.

Sebenarnya komunitas Warkop tidak lantas dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Tetap ada pendampingan dan bantuan untuk mereka agar tetap bisa beraktivitas secara produktif setiap harinya.

Hal itu terlihat dari asal usul warung kopi atau kelontong yang saat ini Diana dan teman-teman lainnya gunakan untuk tempat berkumpul bahkan mencari tambahan nafkah di sana.

Dikatakan Diana bahwa awalnya warung itu berada di dekat Alun-alun Wates. Namun berhubung harus direlokasi karena satu dan lain hal maka pihaknya berpindah ke tempat yang baru yang sekarang di tempati ini. Jaraknya juga tetap tidak terlalu jauh dari Alun-alun Wates.

Mula-mula, Diana bercerita bahwa teman-teman Warkop mendapat bantuan dari Pemkab Kulon Progo yang bekerja sama dengan salah satu bank. Ia menjadi salah satu yang terlibat dalam penandatanganan surat perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU).

"Tanggal pastinya juga saya lupa tapi yang jelas kita [komunitas Warkop] mendapat bantuan uang sekitar Rp.12 juta. Sebelum itu juga sempat ditanya, mau digunakan untuk apa uang tersebut, mau dibikin salon atau usaha apa. Setelah kita rapat sama anggota komunitas yang lain, akhirnya kita putuskan untuk mendirikan warung sembako," ucapnya.

Diana melanjutkan, warung itu juga didapatkan setelah mendapati ada sebuah kios kosong yang terbengkalai. Dari situ semua anggota rupanya setuju hingga akhirnya diputuskan untuk memanfaatkan kios itu untuk dibangun warung sembako atau kelontong yang sekarang ini. Walaupun tidak terlalu besar tapi warung tersebut dikelola oleh teman-teman Warkop sendiri.

Tidak hanya bantuan dana yang digunakan sebagai modal usaha saja yang diberikan pemerintah kepada komunitas Warkop. Sejak awal terbentuknya pun komunitas Warkop sudah sering dilirik oleh pemerintah daerah untuk diundang ikut mengisi acara dari panggung ke panggung. Mulai dari organ tunggal hingga acara kesenian lainnya.

Dari situ Pemkab Kulon Progo dalam hal ini Dinas Kebudayaan, yang waktu itu dirangkul oleh mantan Sekretaris Dinas Kebudayaan Kulon Progo, Joko Mursito yang sekarang menjadi Kepala Dinas Pariwisata, untuk mengikutsertakan teman-teman Warkop dalam acara atau kegiatan kesenian di Kulon Progo. Salah satunya adalah partisipasi komunitas Warkop dalam Sanggar Singlon.

Dari Sanggar Singlon itulah teman-teman Warkop akhirnya mendapat ruang yang layak untuk dapat mengeksplorasi bakatnya sekaligus membangkitkan kembali gairah masyarakat terhadap kesenian tradisional.

Melihat potensi yang ada dari para anggota Warkop, Joko Mursito yang juga sebagai pemilik Sanggar Singlon itu kemudian membentuk sebuah kesenian yakni Jatilan Kreatif bertajuk Jaran Progresif. Berangkat dari sini kegiatan kesenian Warkop terus berkembang hingga saat ini.

"Bahkan mas, kita pernah menyabet gelar juara pertama selama tiga kali secara terus-menerus di tingkat DIY kalau tidak salah," kata Diana sambil menunjukkan piala yang terdapat di warungnya.

Sejumlah anggota komunitas waria kulon progo saat mengikuti kegiatan seni. [dokumentasi pribadi]
Sejumlah anggota komunitas waria kulon progo saat mengikuti kegiatan seni. [dokumentasi pribadi]

Diana melanjutkan bahwa Warkop juga tidak hanya ikut dalam Sanggar Singlon saja tapi juga turut ikut salah satu sanggar di Kutoarjo yang sempat dipegang langsung oleh mantan Bupati Purworejo almarhum Kelik Sumrahadi yang sekarang dipindah kepada Wakil Bupati Purworejo Yuli Hastuti.

Namun sayang, berbagai kegiatan kesenian yang sering diikuti oleh Warkop sekarang harus terhenti sementara akibat adanya pandemi Covid-19. Hal itu tidak dipungkiri oleh Diana yang mengaku sangat merasakan perbedaan atau berkurangnya jumlah kegiatan dari sebelum pandemi hingga saat ini dalam pandemi.

"Kalau biasanya warung kita ini sering tutup karena kesibukan kita dapat job untuk pentas kemana-mana ya kalau sekarang selama pandemi jadi lebih sering jaga warung," katanya.

Namun Warkop juga tidak tinggal diam, pasalnya selama pandemi Covid-19 pihaknya mendapat bantuan dana sekitar Rp500.000 selama enam bulan yang berasal dari IWAYO. Dari bantuan itu, komunitas Warkop memilih untuk membuat dapur umum setiap bulannya.

Di dapur umum itu kadang menjadi ajang berkumpulnya semua anggota komunitas untuk memasak bersama. Makanan yang telah dimasak bersama-sama itu tadi selain dinikmati oleh teman-teman Warkop sendiri juga akan dibagikan untuk warga yang berada di sekitar warung.

Mengenai jumlah anggota Waria Kulon Progo yang sementara ini sudah terkoordinir, Diana menyebut sudah tercatat sebanyak 12 orang. Namun dikatakan Diana bahwa masih banyak teman-teman waria lainnya di Kulon Progo yang dirasa takut untuk menampakan diri.

Dituturkan Diana, setiap anggota Warkop saat ini mempunyai kegiatan masing-masing. Mulai dari ia sendiri yang terbilang rutin menjaga atau mengelola warung kelontong tersebut, lalu salah satu temannya ada yang berjualan jilbab secara online bahkan juga ada yang mendirikan salon sendiri.

"Makanya kadang kalau ngga ada acara seperti kesenian atau yang lainnya, kita susah untuk ngumpul lengkap semuanya. Tapi kalau ada keperluan atau apa nanti kita bisa ngumpul bareng gitu," tuturnya.

Selain itu tentunya setiap anggota mempunyai latar belakang yang berbeda. Diana sendiri yang merupakan warga di Kedundang, Temon, Kulon Progo ini turun ke jalan berawal dari kondisi keluarganya yang broken home.

Diana bercerita bahwa berawal dari sebuah permasalahan yang mungkin dianggap orang lain adalah masalah sepele. Namun nyatanya permasalahan itu menjadi momok bagi dirinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk lari meninggalkan permasalahan itu.

Saat masih awal-awal akhirnya Diana menemukan jati diri sebenarnya, pihak keluarga masih belum mengetahui hal itu. Namun karena waktu itu kegiatannya adalah mengamen untuk menyambung hidup maka banyak tetangga yang akhirnya melihat hingga mengabarkan kepada pihak keluarganya.

Memang sempat terjadi penolakan atau ketidaksetujuan dari keluarga terkait dengan keputusan Diana tersebut. Namun lambut laun, dikatakan Diana, bahwa orang tua dan keluarganya hanya diam saja.

"Sampai pada satu titik orang tua saya pernah bilang ke saya, ya intinya terserah karena itu jalan hidup kamu yang penting jangan pernah ngambil milik seseorang, itu aja," tegasnya.

Anggota komunitas waria lainnya, Rere Marshanda (28) turut menyumbang cerita tentang komunitas Warkop.

Jika Diana muncul dan bergabung dengan teman-teman Warkop akibat dari permasalahan yang ada di keluarga. Rere justru sudah sejak kecil gemar berdandan itu baru bergabung dengan Warkop sekitar lima tahun ini.

"Sebelumnya aku kerja di Jakarta mas, terus akhirnya pulang ke sini ikut gabung sama temen-temen Warkop ini. Tapi dari dulu memang jiwanya sudah perempuan, dari kecil. Jadi ya sudah nyaman seperti ini," ujar Rere.

Rere sendiri mengaku bahwa saat ini keluarganya sudah mulai menerima dan tidak mempermasalahkan lagi. Pasalnya Rere juga sudah dandan di rumah dan semua pakaiannya pun perempuan, tidak ada pakaian laki-laki.

Ketika ditanya mengenai kegiatannya di Warkop sendiri, Rere mengatakan saat ini lebih sering membantu Mami Diana, sebutan Rere untuk Diana, untuk menjaga warung. Mereka sering bergantian dalam berjaga. Satu saat Diana beristirahat, Rere dan teman-teman lainnya yang menjaga, begitu sebaliknya.

Selain berkegiatan menjaga warung, Rere juga mempunyai kesibukan sendiri yakni membuka pijat. Tidak hanya di wilayah Wates, Kulon Progo saja tapi hingga ke Purworejo dan Yogyakarta. Ia juga kadang masih mengisi kegiatan dengan menari hingga menyanyi.

Setiap komunitas mesti memiliki kisah suka duka di dalamnya. Terkait dengan itu Rere, mengutarakan bahwa suka duka itu kadang muncul ketika tidak adanya kekompakan dalam satu komunitas itu sendiri. Misalnya saja, ada salah satu anggota yang merasa iri atau yang lain saat teman-teman mendapat job. Meski begitu ia tetap bersyukur memiliki teman-teman yang saling peduli.

Menurut Rere, saat ini penerimaan di masyarakat sendiri sudah terdapat perbedaan yang cukup pesat. Bukan menuju ke arah yang buruk tapi justru menuju arah yang lebih baik.

"Menurut saya, sekarang masyarakat sudah bisa menerima kok mas. Kata-kata yang dulu dan sekarang juga beda, kalau biasanya dulu sering dikatain banci atau yang lainnya, sekarang itu udah ngga lagi. Sudah biasa, maksudnya ketemu di jalan juga menyapa, bahkan sering ngajak ngobrol," ungkapnya.

Kendati belum sepenuhnya diskriminasi itu hilang, tapi menurut Rere perkembangan itu sekarang dapat terlihat dari penerimaan yang baik dari masyarakat terhadap komunitas atau kelompok waria.

Sementara itu Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Cabang Kulon Progo, Rina Agustin Saputri, mengatakan bahwa memang pihaknya melakukan pendampingan kepada kelompok atau komunitas di suatu wilayah. Mulai dari pendampingan di sekolah, desa dan teman-teman termarjinalkan, yakni salah satunya yang ada di Kulon Progo adalah Komunitas Waria Kulon Progo ini.

"Jadi setiap bulan kita akan turun ke lapangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi ke temen-temen waria yang ada di Kulon Progo. Sekretariat memang ada di sini [Warung Kopi] yang saat ini dipegang oleh Mbak Diana," kata Rina.

Rina menuturkan pendampingan atau bantuan dari PKBI dapat berupa banyak hal. Semisal terdapat kasus-kasus yang memang dirasa tidak memungkinkan di selesaikan sendiri PKBI akan turun untuk membantu menyelesaikannya.

Selain itu PKBI juga mendampingi terus kegiatan rutin semisalnya yang terbaru adalah dapur umum yang diselenggarakan selama pandemi Covid-19 oleh rekan-rekan Warkop. Pendampingan itu dilakukan secara rutin hampir setiap bulannya.

"Seharusnya kita ada rencana kegiatan pelatihan advokasi gitu tapi karena pandemi Covid-19 terpaksa masih harus tertunda dulu," ungkapnya.

Ditambahkan Rina, selama pandemi sebenarnya teman-teman Warkop tidak lantas berdiam diri saja. Pasalnya baru sekitar bulan Juli lalu, pihaknya melaksanakan kegiatan gelar budaya dengan melibatkan komunitas Waria Kulon Progo.

"Juli kemarim ada gelar budaya, temen-temen waria juga ikut terlibat. Itu adalah gelar budaya nasional yang dilaksanakan secara virtual," ucapnya.

Pentas gelar budaya nasional yang diselenggarakan secara virtual oleh komunitas Warkop mengambil latar keindahan Waduk Sermo. Dikatakan Rina, karena memang skala gelar budaya ini adalah nasional jadi tidak hanya teman-teman waria Kulon Progo saja yang terlibat tapi ada di berbagai daerah seperti Sumatera dan lainnya.

"Jadi meskipun masih dalam keadaan pandemi ini kita tetap mencoba untuk melibatkan temen-temen waria Kulon Progo agar menunjukkan bakat mereka," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini