"Produk ekspor punya karakteristik sendiri. Itu nanti berbeda dengan keinginan atau pun daya belinya dengan orang sini. Luar negeri lebih suka yang antik sehingga perlu finishing agar terlihat kuno dan semacamnya. Intinya tiap negara ada treatment khusus. Kalau untuk bentuk juga tergantung dengan buyer sendiri," paparnya.
Ditambahkan Bisma bahwa untuk presentase yang pendapatan yang diperoleh dari ekspor maupun lokal tidak jauh berbeda. Bahkan saat ini pasar lokal menjadi lebih meningkat sesuai dengan tren yang ada.
"Saat ini malah rame lokal karena bentuk-bentuk yang diciptakan dari pengarajin untuk lokal ini kan sudah mempunyai perkumpulan atau komunitas tersendiri. Semisal tanaman, tidak mungkin orang cuma punya satu di rumah. Selisih tidak jauh beda," jelasnya.
Sementara itu Pengelola Koperasi Kasongan Usaha Bersama (KUB), Sundari mengakui penurunan sempat dialami oleh beberapa pengerajin gerabah di Kasongan tiga bulan awal setelah pandemi dinyatakan meluas di Indonesia. Bahkan tidak sedikit pengerajin yang benar-benar berhenti produksi dan menutup tokonya untuk sementara.
Baca Juga:2 Bapaslon Pilkada Bantul Lolos Tes Kesehatan, Masih Harus Lengkapi Berkas
"Hanya beberapa saja yang buka. Baru setelah lebaran, mulai ada pengunjung ditambah sekarang juga sedang tren sekali pot-pot tanaman seperti itu. Jadi bisa dibilang sekarang sudah sebanding lagi setelah sempat berhenti kemarin," kata Sundari.
Sundari menjelaskan KUB yang bergerak untuk menyediakan bahan baku tanah liat kepada para perajin yang ada di Kasongan itu saat ini sudah menerima pesanan sekitar empat pikap perhari. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan permintaan awal pandemi yang hanya rata-rata dua pikap perhari.
"Sekarang ini bahkan pada lembur, yang kemarin tidak buat gerabah sekarang jadi buat lagi. Ditambah lagi pemasaran juga lewat online, itu juga bikin pesanan lebih banyak," tandasnya.