SuaraJogja.id - Berbagai cerita menyertai peristiwa Gerakan 30 September, yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau kini lebih dikenal dengan sebutan G30S/PKI, termasuk adanya cerita banyak pengikut PKI yang dibuang di suatu tempat rahasia.
Gunungkidul merupakan salah satu wilayah yang disebut-sebut sebagai salah satu lokasi pembuangan tersebut. Banyak cerita yang menyebutkan bahwa goa-goa ataupun luweng , alias goa vertikal, yang banyak terdapat di Gunungkidul dijadikan lokasi pembuangan jasad pengikut PKI. Cerita tersebut melengkapi kisah mistis keangkeran dari masing-masing luweng .
Kebenaran pembuangan jasad para pengikut PKI tersebut sampai saat ini memang masih menjadi misteri. Namun demikian, cucu Sri Sultan HB VIII, Gusti Kukuh Hestarining, mengatakan, ada satu orang yang diminta oleh polisi ataupun
tentara untuk masuk ke dalam goa atau luweng untuk mencari jasad PKI yang masih tersisa di dalam goa.
"Beliau Mbah Margo, tinggal di Girikarto," ujarnya, beberapa hari yang lalu.
Baca Juga:Survei SMRC: 37 Juta Warga Indonesia Percaya PKI Akan Bangkit Lagi
Selain diminta mencari jasad PKI, Margo Utomo juga disebutkan pernah mendamping Sri Sultan HB IX melakukan ritual di Pantai Gesing. Margo Utomo memang selama ini dikenal sebagai pribadi yang ulung dalam urusan yang berhubungan dengan alam.
SuaraJogja.id kemudian berusaha mencari Mbah Margo Utomo di kediamannya di Pedukuhan Dawung, Kalurahan Girikarto, Kapanewon Panggang. Namun ketika sampai di rumahnya, Mbah Margo sudah tidak berada di rumah. Mbah Margo tengah berada di ladang dekat Pantai Puncak Segoro, sekitar 2 kilometer dari kediamannya.
Dengan diantar oleh istri Mbah Margo, Samtinem (63), SuaraJogja.id mendatangi Mbah Margo di ladangnya, tepatnya di pinggir pantai di Dawung, Rabu (1/10/2020).
Sejak mempersunting Samtinem, Mbah Margo memang tidak tinggal di tanah Kelahirannya.
Lelaki ini lantas bercerita banyak terkait dengan aksinya mencari jasad PKI di Luweng Grubug di Kapanewon Semanu, Gunungkidul. Lelaki yang pernah memiliki 3 istri ini mengaku tak ingat secara pasti kapan ia melakukan tugas mencari jasad pengikut PKI yang dibuang tersebut. Yang ia ingat hanya momen beberapa tahun setelah pemberontakan PKI meletus pada 1965 lalu.
Baca Juga:Sukmawati: PKI Itu Ideologinya Pancasila, Kenapa Jadi Masalah?
Suatu hari, ia didatangi oleh beberapa tentara dan polisi, lalu diminta untuk masuk ke Luweng Grubug. Alasan pertama yang dikemukakan oleh para tentara tersebut adalah untuk mencari sarang walet yang katanya ada di luweng tersebut.
"Saya memang dari muda suka mencari sarang burung walet. Mungkin karena itu mereka mencari saya," paparnya.
Sepekan sebelum hari yang dijanjikan, ia memang didatangi oleh beberapa tentara atau polisi. Mereka memintanya untuk membantu mencari apa saja yang tertinggal di luweng sekaligus sarang burung walet tersebut. Namun sebelum masuk ke dalam Luweng Grubug, ia sudah diberitahu bahwa luweng tersebut merupakan tempat pembuangan pengikut PKI.
Dan secara khusus memang ia diminta untuk mencari apa saja yang tertinggal baik jasad, ataupun benda-benda lainnya. Meski ragu namun ia tetap memberanikan diri menerima tawaran tersebut karena ia selalu ingat pesan orangtuanya untuk berusaha membantu orang yang meminta bantuan.
Di hari yang dijanjikan, ia dijemput oleh 5 orang tentara atau polisi sekitar pukul 04.30 WIB. Jarak tempuh rumahnya dengan Luweng Grubug memang cukup jauh. Sesampai di lokasi, sekitar pukul 07.00 WIB, ia sudah diminta untuk turun ke dalam luweng .
"Sebenarnya ada dua lagi teman saya, tetapi yang berani turun hanya saya," paparnya dalam bahasa Jawa Krama Inggil (Jawa Halus).
Sebelum turun, tubuhnya sudah diikat lengkap dengan tali serta helm layaknya atlet panjang tebing. Ia diminta turun menggunakan tali berbentuk tangga sedalam 50 meter dari permukaan mulut luweng . Meski ada perasaan cemas, ia tetap melanjutkan permintaan polisi ataupun tentara tersebut.
Sesampainya di dasar luweng , ternyata tidak sesuai dengan prediksi sebelumnya karena dasar luweng tersebut merupakan pertemuan dua aliran sungai bawah tanah di mana di tengahnya ada batu cukup besar berdiameter 1 meteran. Di atas batu tersebut ada kerangka manusia yang sudah tinggal tulangnya saja.
"Itu katanya PKI paling sakti, sehingga bisa tersangkut di atas batu," ujar dia.
Seperti permintaan sebelumnya, lelaki ini lantas membawa serta tulang belulang tersebut ke atas keluar dari luweng . Tak banyak yang ia bawa karena sulitnya medan yang harus ia tempuh ketika kembali ke atas permukaan luweng . Margo mengaku hanya membawa tulang iga ke permukaan luweng .
Sesampainya di mulut luweng di mana banyak tentara dan polisi menunggu, tulang tersebut langsung diperiksa oleh mereka. Margo sendiri tidak tahu apa yang dilalukan oleh para tentara atau polisi tersebut. Ia mengaku selesai keluar dari dalam luweng pukul 15.00 WIB.
"Ya itu [tulang] katanya PKI yang sakti. Sengaja dibuang ke situ biar mati kelaparan katanya," tambah Mbah Margo.
Mbah Margo mengakui, sudah ratusan goa dan luweng ia masuki, bahkan hampir semua luweng yang ada di Gunungkidul. Memang dirinya sejak muda sudah dikontrak para juragan untuk mencari sarang burung walet di sepanjang Pantai Selatan Gunungkidul.
Setiap hari, ia hanya dibayar Rp0,5 kala itu untuk mencari sarang burung walet. Kemampuannya itu mungkin yang membuat polisi atau tentara memintanya masuk Luweng Grubug. Namun untuk Luweng Grubug, ia memang baru sekali masuk, yaitu saat diperintah untuk mencari jasad PKI.
Kini, Mbah Margo sudah tak menjalani profesinya tersebut. Sang istri, Samtinem, mengatakan, keluarga sudah tidak mengizinkan suaminya pergi mencari sarang burung walet. Kaki Mbah Margo sudah tidak sekuat dulu lagi dan terkadang langsung sakit tanpa ada gejala sebelumnya.
"Sukune niku sampun mboten kiat [kakinya itu sudah tidak kuat],"ujarnya.
Kini, Mbah Margo tinggal bersama dirinya di Dawung. Setiap hari, Mbah Margo pergi ke ladang yang berada di kawasan Pantai Puncak Segoro. Jarak antara rumahnya dengan ladang memang cukup jauh, sekitar 2 kilometer. Sejak pukul 09.00 WIB, Mbah Margo pergi ke ladang dan pulang kembali ke rumah pukul 17.00 WIB.
Untuk mengisi hari tuanya, selain berladang, Mbah Margo juga mencari nafkah dengan membuat arang. Meski hasilnya tidak seberapa, tetapi itu tetap ia lakukan untuk menyambung hidup. Ia sudah merasa puas dengan hidupnya bersama 4 orang anak dengan 6 orang cucu.
Kontributor : Julianto