SuaraJogja.id - Masjid Pathok Negoro di Minomartani Plosokuning merupakan salah satu lokasi ibadah umat Muslim tersohor di Sleman, sekaligus cagar budaya yang dilindungi.
Dalam catatan Keraton, masjid ini dibangun pada 1756, masuk dalam wilayah Kapanewon Ngaglik dan berada di tengah-tengah permukiman warga sekaligus menjadi napas aktivitas keseharian masyarakat setempat.
Takmir Masjid Pathok Negoro Posokuning Kamaludin Purnomo mengatakan, masjid dan masyarakat hidup berdampingan di Plosokuning. Hal itu merupakan grand design dari Keraton sejak lampau. Ada banyak tradisi yang dipesankan untuk tetap lestari dan tumbuh, sejak berdirinya masjid tersebut.
"Semua [masjid] pathok negoro terpilih untuk selenggarakan [tradisi] itu. Tapi selama kurun waktu berlalu, ada [masjid pathok negoro] yang masih mau lestarikan, ada yang enggak, termasuk juga bangunannya," kata dia, dijumpai pada Sabtu (1/5/2021).
Baca Juga:Nyore (Part 3): Main ke Jogja, Ngabuburit di Kampoeng Ramadhan Jogokariyan
Beberapa tradisi yang kerap hadir dan mengisi keseharian warga sekitar masjid yakni tari sufi, tari badui, selawatan Jawa, dan selawat rodat.
"[Di sini] tradisi masih dipertahankan. Begitu juga bangunan, sifatnya mendandani, kami hanya memperbaiki bagian kamar mandi saja," tambahnya.
Ia menyebut, masjid patok negoro lainnya sudah ada yang mengalami perubahan pada bangunannya. Misalnya saja Masjid Jami' An nur di Mlangi yang menjadi patok negoro sebelah barat. Kamal menyatakan sudah ada beberapa bagian yang diganti. Demikian juga dengan patok negoro sisi timur, Masjid Jami' Ad Darojat, Babadan ada komponen bangunan yang dipindah.
Masjid pathok negoro Plosokuning punya fungsi engineering bagi masyarakat setempat, lanjut Kamal. Dengan arti lain, bila ada perbuatan buruk, menyimpang terjadi di sekitar masjid, maka bisa diingatkan lewat forum masjid, agar kembali ke jalan yang lurus.
"[Masyarakat diingatkan mau. [Masjid] masih ada wibawa, mengajak, mengingatkan masyarakat," kata dia.
Baca Juga:Tukang Becak Sumbangkan Semua Uangnya ke Masjid Jogokariyan, Alasannya Haru
Bukan hanya itu, sebagian besar aktivitas masyarakat justru dilakukan di masjid. Baik itu aktualisasi bahkan hingga sekadar saling berinteraksi. Musafir diterima pula dengan lapang dan tangan terbuka oleh masyarakat.