SuaraJogja.id - Di tengah semarak perayaan HUT ke-80 RI, sebuah kebijakan baru siap diuji coba Bank Indonesia (BI) dan berpotensi menjadi kado pahit bagi kemerdekaan privasi warga.
Mulai 17 Agustus 2025, sistem Payment ID akan memulai fase perdananya, memicu perdebatan sengit mengenai masa depan data pribadi kita.
Payment ID dirancang sebagai identitas tunggal untuk semua transaksi keuangan, yang akan terintegrasi langsung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Artinya, setiap aktivitas finansial—mulai dari transfer bank, pembayaran e-wallet, hingga cicilan pinjol—akan terhubung ke satu kode unik yang melekat pada identitas kependudukan setiap warga negara.
Baca Juga:Kantor Perwakilan BI DIY Sebut Biang Terjadinya Deflasi, Ternyata Komoditas Ini
Meski pemerintah mengklaim kebijakan ini akan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan ketepatan penyaluran bantuan sosial, para ahli melihat adanya pedang bermata dua yang berbahaya.
Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Susilo Nur Aji Cokro Darsono, menilai kebijakan ini bisa mengancam kebebasan fundamental warga negara.
"Sentralisasi seluruh data keuangan ke satu identitas berbasis NIK menghadirkan risiko besar," ujarnya, Jumat (8/8/2025).
Menurut Susilo, yang juga Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMY, sistem ini berpotensi menjadi alat pengawasan massal jika tidak dikelola dengan prinsip yang ketat.
Tanpa transparansi, kontrol penuh dari pengguna, dan akuntabilitas yang jelas, kemerdekaan individu bisa tergerus. Hal ini ironis, mengingat Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022.
Baca Juga:Super Apps BRImo, Transaksi Perbankan dengan Kemudahan, Keamanan dan Kenyamanan
"Namun integrasi total data keuangan berbasis NIK memunculkan kekhawatiran serius terkait perlindungan privasi warga negara," tandasnya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dengan satu identitas tunggal, seluruh riwayat keuangan seseorang, dari berbagai akun bank dan fintech yang dimiliki, akan terkonsolidasi.
Pemerintah dan lembaga keuangan akan memiliki gambaran utuh atas kemampuan finansial, pola belanja, hingga pergerakan dana setiap individu.
Selain ancaman privasi, kebijakan ini juga berisiko menciptakan jurang ketimpangan baru yang disebut financial data divide.
Ada kesenjangan besar antara masyarakat urban yang melek teknologi dengan kelompok rentan seperti pekerja sektor informal, warga di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), serta kalangan lansia.
"Kelompok ini berpotensi tidak terjangkau oleh sistem. Jika tidak diantisipasi, kebijakan ini justru menambah jurang ketidaksetaraan," ungkap Susilo.