SuaraJogja.id - Ratusan warga Kalurahan Ngalang, Kapanewon Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul menggelar Nyadran Gadean Gunung Gentong, Selasa (8/6/2021). Sejak Senin kemarin masyarakat sudah memulai rangkaian prosesi hajatan yang digelar sekali dalam setahun ini.
Hari Selasa ini dalam kalender Jawa bertepatan dengan hari Selasa Kliwon bulan Syawal. Hari Selasa Kliwon memang menjadi hari wajib bagi masyarakat Kalurahan Ngalang ketika menggelar Nyadran Gadean Gunung Gentong. Gadean adalah petilasan Prabu Brawijaya V yang ada di Gunung Gentong.
Sejak Senin Wage kemarin, warga mulai mengumpulkan bahan (uba rampe) yang akan digunakan untuk upacara nyadran tersebut. Senin malam mereka mulai memasak uba rampe tersebut sebelum akhirnya Selasa pagi sekitar pukul 05.00 WIB masakan tersebut mereka kumpulkan di rumah Dukuh.
"Kalau tidak pandemi, uba rampe tersebut kita kumpulkan di Balai Padukuhan," ungkap Ketua Desa Budaya Ngalang Kunto Wibowo, Selasa.
Baca Juga:Selain Klaster Pabrik Tas, Jumlah Pasien Covid-19 di PLayen Melonjak dari Klaster Takziah
Mulai pukul 06.00 WIB, warga secara bersama-sama membawa uba rampe tersebut ke Gadean. Jika tidak masa pandemi, biasanya mereka membawa uba rampe tersebut dengan Jodang (tandu) menuju ke lokasi hajatan. Di petilasan Prabu Brawijaya tersebut, uba rampe yang mereka bawa lantas didoakan oleh tokoh adat setempat.
Uba rampe seperti Nasi Putih sambel Gepeng (kedelai), Panggang Ayam, Ketupat dan hasil bumi turut serta dibawa untuk didoakan. Selain itu hal yang wajib dipenuhi adalah sirih yang diikat dengan benang serta sisir suri (sisir untuk mencari kutu rambut).
"Ini bentuk keikhlasan kami berbagi," terangnya.
Uba rampe tersebut bukan tanpa sebab karena nasi sambel gepeng adalah nasi kesukaan Prabu Brawijaya ketika menjalani prosesi bertapa di Gadean tersebut. Sesekali Prabu Brawijaya menangkap ayam kemudian dipanggang di atas bara api yang sengaja ia buat.
Kemudian sirih tersebut sebagai simbol jika lelaki zaman dahulu makan sirih. Saat bertapa di tempat yang sangat tersembunyi penuh dengan pohon-pohon besar serta sejuk inilah Prabu Brawijaya menikmati kesunyian sembari mengunyah daun sirih.
Baca Juga:7 Hari Hilang, Operasi Pencarian Korban Tenggelam Pantai Ngluwen Dihentikan
"Sementara sisir suri disimbolkan sebagai upaya menyisir berbagai keburukan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelum akhirnya dibuang," terangnya.
Sementara Kupat (Ketupat) simbolisasi aku lepat (aku lepat) juga dibuat sebagai pengakuan bahwa manusia memang sering melakukan kalepatan (kesalahan). Harapannya memang segala dosa bisa diampuni oleh Sang Maha Kuasa nantinya.
"Semua uba rampe tersebut dibagi dan dimakan secara bersama-sama. Tentu lebih enak-enakan (nikmat)," ujarnya.
Kunto menambahkan, Nyadran Gadean Gunung Gentong merupakan warisan tradisi yang harus dilaksanakan. Nyadran ini juga sebagai peringatan kepergian Prabu Brawijaya V serta sebagai ajaran berani dan bersedia berkorban memberikan kepada orang lain meskipun hanya makanan.
Nyadran Gadean Gunung Gentong adalah menu wajib yang harus dilaksanakan setiap tahun oleh warga setempat, termasuk di masa pandemi seperti sekarang ini. Tahun 2020 kemarin, hajatan ini digelar lebih sederhana dengan membatasi jumlah peserta. Namun untuk kali ini, digelar seperti biasa ketika tidak ada pandemi.
"Yang membedakan hanya tidak ada jodang," kata dia.
Nyadran Gadean Gunung Gentong wajib dilaksanakan setiap tahun karena jika tidak, maka warga khawatir akan ada bencana yang melanda wilayah mereka.
"Tahun ini, harapan terbesar warga adalah pandemi segera berakhir. Kami mengusir pandemi Covid-19 dengan ritual ini," ungkapnya.
Kontributor : Julianto