Soroti Penambangan Liar di Sleman, Walhi: Pengawasan dan Penindakan di Lapangan Lemah

Walhi minta Pemda DIY lebih ketat awasi penambangan di lereng merapi

Galih Priatmojo
Rabu, 15 September 2021 | 19:18 WIB
Soroti Penambangan Liar di Sleman, Walhi: Pengawasan dan Penindakan di Lapangan Lemah
Suasana penambangan di salah satu aliran Sungai Gendol, yang masuk dalam wilayah Desa Kepuharjo dan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Kamis (2/1/2020). - (SUARA kontributor/Uli Febriarni)

SuaraJogja.id - Penambangan liar di lereng merapi yang mencaplok hingga ke tanah kas desa dan Sultan Ground membuat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X geram. Lantaran telah merusak lingkungan, Sultan kemudian memberhentikan sebanyak 14 titik penambangan di lereng Merapi.

Menyikapi hal itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi punya sejumlah rekomendasi atas keberlangsungan aktivitas penambangan liar di lereng Merapi. Tak pandang bulu, baik pertambangan legal maupun ilegal harus diawasi ketat.

Direktur Walhi Yogyakarta Halik Sandera mengatakan, izin yang sudah ada kepada perusahaan yang menyelenggarakan penambangan secara legal harus dievaluasi dan diaudit. Hal itu untuk mengetahui apa saja efek yang saat ini sudah terjadi dan seperti apa rekomendasi yang muncul dari proses evaluasi dan audit tadi. 

"Kalau dalam evaluasi dan audit sudah tidak layak dilanjutkan, ya itu harus dihentikan," kata dia, Rabu (15/9/2021)

Baca Juga:Rumahnya Jadi Tempat Menginap Menteri Nadiem, Guru di Sleman Ini Bingung Soal Menu Sarapan

Ilustrasi tambang pasir (Batamnews)
Ilustrasi tambang pasir (Batamnews)

Bahkan, ketika izin belum selesai atau masih berlaku namun dari hasil audit dinyatakan penambangan tak layak dilakukan, maka kegiatan itu harus dihentikan. Sudah selaiknya menurut Halik, pemerintah daerah punya tanggung jawab untuk ikut andil mengurus proses tersebut, tak melulu melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat atau provinsi yang disebut-sebut lebih memiliki wewenang untuk bersikap. 

"Misalnya saat kami mendampingi masyarakat Jomboran, selalu dilempar itu wewenang ada di pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah daerah tidak lepas tanggung jawab, melihat dari konteks tata ruang kan berhak melarang juga," kata dia. 

Rekomendasi dari pihak lain terkait atas kondisi lokasi penambangan juga bisa menjadi acuan untuk mengehentikan izin. Misalnya bila dikaitkan dengan kondisi Merapi saat ini, rekomendasi BPPTKG Yogyakarta atas status kegunungapian Merapi bisa dijadikan acuan.  

Sementara itu untuk usaha pertambangan liar, sudah seharusnya bisa langsung dihentikan karena sudah jelas ada aturan yang berlaku. Ada kaidah-kaidah yang diabaikan oleh penambang.

"Kalau memang mau efek jera ya PR-nya [pekerjaan rumah] tentu tokoh utama bisa ditindak. Yang ilegal tanpa kajian harusnya sudah jadi tupoksi pemerintah daerah," ucapnya. 

Baca Juga:Video Konser Dewa 19 di Hotel Sleman Viral Saat PPKM, Saptol PP DIY Panggil Panitia

Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas tambang ilegal, sambung Halik, terlihat dari banyak indikator di lapangan. Ia memberi contoh penolakan warga atas penambangan di Hargobinangun yang pernah terjadi di waktu lalu. Warga setempat sampai turun tangan memblokir jalan dan menurunkan beberapa alat.

Bukan semata pengawasan dan penegakkan aturan, ada tugas besar yang perlu dilakukan, yakni bagaimana mengubah paradigma masyarakat. Praktik ilegal tambang di lereng Merapi itu biasanya terjadi karena adanya izin dan akses. 

Masyarakat dengan sukarela lahan mereka disewa lalu ditambang dan diambil pasirnya. Kondisi ini menunjukkan ada masalah dalam praktik kesejahteraan ekonomi masyarakat.

"yang menjadi PR bagaimana kemudian meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga masyarakat tidak tergiur lahannya ditambang. Termasuk alih profesi bagi masyarakat yang menambang manual," terangnya. 

Pengecualian dalam penambangan di sungai yang konteksnya normalisasi sungai. Selama ini kegiatan normalisasi dilakukan oleh perusahaan, bisa tidak kedepannya proses normalisasi itu diserahkan kepada masyarakat," ujar Halik lagi.

Artinya, ketika sungai di lereng Merapi benar-benar sudah memasuki masa normalisasi, misalnya ada banyak pasir yang muncul akibat proses erupsi dan harus diambil. Maka dibuat mekanisme agar masyarakat setempat yang menambang pasirnya sebagai potensi ekonomi. 

"Tapi juga diawasi agar saat secara morfologi sungainya tidak boleh diambil pasirnya lagi, sudah cukup, ya sudah selesai, masyarakat kembali ke aktivitas harian. Tambang kan itu silih berganti, bisa saja bukan pekerjaan harian atau bukan [mata pencaharian] utama," sebutnya.

Dampak Penambangan Liar Lereng Merapi, Air Bablas di Hulu Kering di Hilir

Posisi lereng Merapi dalam tata ruang wilayah perlu dipahami sebagai kawasan lindung, artinya menjadi kawasan yang me-recharged air tanah. 

Secara tata ruang seharusnya tidak boleh ada tambang di Merapi, khususnya di lahan-lahan. Maka sudah selaiknya tidak ada izin tambang keluar.

Ketika praktik penambangan di sana cukup masif, artinya akan mengganggu proses pengisian ulang (recharged) air tanah.

"Dan kita tahu air tanah tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Sleman dalam hal ini di wilayah atas [sekitar Merapi]. Karena air dari atas juga mengisi cekungan air tanah yang dimanfaatkan juga oleh warga Kota Jogja, Kabupaten Bantul," ucap Halik.

Artinya ketika terjadi penambangan liar cukup masif di atas atau pegunungan dan lereng Merapi, artinya akan mengganggu muka air tanah yang ada di hilirnya, yaitu Kota Jogja maupun Bantul. Data dari DPU ESDM muka air tanah sudah menurun sejak beberapa waktu lalu, kondisi itu membuktikan ada faktor pengambilan air cukup masif di daerah perkotaan dengan menjamurnya hotel.

Tapi juga ada faktor karena terganggunya fungsi kawasan imbuhan atau recharged air tanah. Pasalnya pengisian air tanah cukup dalam itu bergantung dengan pengisian ulang air di kawasan imbuhan, jelas Halik.

Kejadian awan panas guguran Gunung Merapi, Sabtu (27/3/2021) pagi. (Dokumentasi BPPTKG).
Kejadian awan panas guguran Gunung Merapi, Sabtu (27/3/2021) pagi. (Dokumentasi BPPTKG).

Saat kawasan imbuhan terganggu, dipastikan supply untuk menjaga permukaan air tanah itu semakin cepat menurun. Bergantung dari maksimal tidaknya proses penyerapan atau proses pengikatan air di dalam tanah.

"Ketika semakin banyak tambang ilegal di sana, pasti fungsinya terganggu karena proses pengisian air tanahnya terganggu," ucapnya. 

Gangguan kegiatan penambangan atas alam yang berada di lereng Merapi, bukan hanya terjadi akibat tambang alat berat. Melainkan juga tambang manual dan semua bentuk aktivitas lain yang mengubah bentang alam di kawasan imbuhan. Perbedaan dampak kerusakan yang disebabkan tambang manual dan tambang alat berat hanya dalam soal menghitung waktu. 

"Kalau [tambang] manual perubahan bentang alam akan [berlangsung] lama. Kalau [tambang] alat berat perubahan bentang alamnya terjadi lebih cepat, hanya menghitung waktu saja," ungkapnya. 

Proses pengisian ulang air juga bergantung di musim hujan. Di saat musim hujan idealnya proses pengisian ulang semakin maksimal, lagi-lagi bila tutupan lahan masih maksimal. 

"Artinya dia [air] proses mengalirnya di dalam tanah, cekungan. Air tanah itu kan mengalir perlahan, ketika lahan di atas tertutup dengan tanaman maka alirannya bertahap, air akan diikat oleh akar tanaman," sebut dia. 

Berbeda kondisi ketika penambangan masif sudah mengubah bentang alam yang sebelumnya banyak memiliki tutupan menjadi lahan terbuka. Maka di bentang alam tersebut tak cukup banyak ada tanaman, akar pohon yang kuat mengikat air. 

Dengan demikian, air lebih banyak ada di permukaan, akan mengalir ke lembah kemudian ke sungai. Padahal air di sungai pasti akan lebih cepat mengalir ke laut.

"Artinya air hujan yang datang di kawasan hulu akan lebih banyak mengalir sebagai air permukaan bukan air tanah," ujar dia memberi penekanan.

Dampak lain yang harus dipelajari dari maraknya tambang ilegal adalah perihal siapa yang akan bertanggungjawab akan melakukan rehabilitasi paskatambang. Sehingga sudah barang ttentu harus dimulai dari pencegahan jangan sampai ada tambang di sana, diikuti penguatan pengawasan dan penindakan agar bisa menimbulkan efek jera.

"Karena selama ini penegakan hukum hanya pemain lapangan yang ditangkap, tapi aktor utama siapa itu yang tidak pernah diseriusi dicari siapa sebetulnya otak utama," tegas dia. 

Mitigasi Bencana Jadi Taruhannya

Penambangan liar di lereng Merapi juga punya efek yang cukup mengancam keberlangsungan upaya mitigasi bencana erupsi Merapi. 

Jalan yang selama ini digunakan sebagai transportasi kendaraan tambang, tak sedikit yang kelasnya bukan sebagai jalur kendaraan pembawa material tambang. Padahal jalur transportasi yang sama tersebut digunakan pula sebagai jalur evakuasi bagi korban terdampak bencana alam erupsi Merapi. Alhasil banyak jalur evakuasi rusak.

"Apalagi yang kita tahu status Merapi saat ini Siaga. Seharusnya praktik pertambangan yang melewati jalur-jalur yang akan jadi jalur evakuasi harus betul-betul ditertibkan," lanjut Halik lebih jauh. 

Kondisi ini berkaitan dalam konteks bila status Merapi terus meningkat aktivitasnya dan berubah status menjadi Awas. Maka masyarakat yang berada di radius tidak aman harus mengungsi agar tidak ada korban jiwa.

Tambang yang dilakukan di aliran sungai juga tetap harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Terlebih ketika mereka mendapatkan rekomendasi dari BBWSO. 

Ilustrasi tambang pasir. (Shutterstock)
Ilustrasi tambang pasir. (Shutterstock)

Keberadaan mata air jangan sampai terancam dengan adanya kegiatan penambangan. Penambangan di jalur aliran sungai berpotensi membuat sungai semakin dalam. Kondisi sungai semakin dalam berpengaruh kepada menurunnya muka air dan air tanah, yang kemudian menurunkan debit air yang muncul dari mata air di sungai itu.

"Karena beberapa kasus dulu kalau tidak salah di Kaliboyong ada izin penambangan keluar dan berdampak pada mata air yang dimanfaatkan masyarakat sekitarnya," tuturnya.

Kontributor : Uli Febriarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini