"Memang awal-awal belum pada tahu kalau saya yang nyanyi, walau di deskripsi lagu itu dicantumkan akun Youtube saya. Tapi yang namanya era digital informasi sangat mudah tersebar luas dengan cepat," ucapnya.
Ketika banyak orang yang dialah penyanyi aslinya, maka ada yang membandingkannya. Namun demikian, ia bersikap cuek dengan komentar tersebut.
"Di kolom komentar video klipku Mendung Tanpo Udan banyak yang membandingkan begitu tapi cuek-cuek saja," katanya.
Ia mengakui bahwa untuk menyanyikan lagu dangdut itu sulit. Terlebih harus mengatur teknik pernapasannya.
Baca Juga:Muncul Klaster Covid-19, Bupati Bantul Sebut Masyarakat Mulai Abai Protokol Kesehatan
"Menyanyi dangdut itu sulit, aku bingung mengatur napasnya. Wong lagi itu saja pelan sudah kabotan," ujarnya.
Menyoal lirik awak dewe tau duwe bayangan, besok yen wes wayah omah-omahan, aku moco koran sarungan, kowe belonjo dasteran. Ia menjelaskan, sejatinya lirik awalnya lebih bernuansa religi.
"Sebetulnya lirik awalnya begini aku dadi imam sarungan, koe makmum rukuhan (aku jadi imam salat dan kamu makmumnya menggunakan mukena). Lalu diganti supaya lebih bisa diterima banyak orang," ungkap dia.
Selain itu, menurutnya, lirik lagu aku moco koran sarungan tak lagi relevan dengan generasi Z yang mana sudah tidak membaca koran. Itu karena dia tumbuh di era media cetak sampai media online.
"Salah satu alasan aku tulis liriknya begitu karena aku hidup di era transisi media dari cetak ke digital. Koran jadi pertanda zaman, orang yang pakai sarung sampai sekarang juga masih ada. Ibu-ibu yang belanja ke pasar pakai daster pun masih ada. Anak-anak zaman sekarang harus tahu soal itu," katanya.
Baca Juga:Anak Usia 6-11 Tahun Bisa Divaksin, Bupati Bantul Bilang Begini
Konsisten produksi lirik lagu berbahasa Jawa