SuaraJogja.id - Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dinilai Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) sudah tidak tegas dan menghasilkan putusan yang membingungkan terkait keberlakukan substansi UU Cipta Kerja.
Peneliti Bidang Riset dan Edukasi PSHK UII Melani Aulia Putri Jassinta mengatakan, dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, tetapi di satu sisi masih memberlakukan UU Cipta Kerja dalam dua tahun ke depan.
Menurut dia, hal itu secara teoritis merupakan praktik yang tidak biasa. Di sisi lain, MK juga memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Namun mahkamah tidak menjelaskan apa ukuran kebijakan strategis dan berdampak luas yang dimaksud? Siapa yang berhak menentukan indikator tersebut? Hal ini tentu telah menimbulkan ketidakpastian hukum, apakah masih dibuka peluang untuk dilakukan uji materil atas UU Cipta Kerja?," kata dia, Selasa (30/11/2021).
Baca Juga:Maman Golkar Sebut Putusan MK soal UU Cipta Kerja Bikin Miris Nalar dan Logika Publik
Selain itu, ia juga mempertanyakan status UU Cipta Kerja sebagai objek uji materil dan seperti apa aspek perlindungan hak-hak konstitusional dari keberlakuan UU Cipta Kerja yang dilihatnya 'abu-abu' itu.
PSHK FH UII merekomendasikan pemerintah perlu menindaklanjuti putusan MK, khususnya mengenai parameter pelaksanaan UU CK yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Kemudian, mengingat putusan MK tersebut sudah inkracht, maka bagaimanapun keberlakuan UU Cipta Kerja tetap sesuai dengan amar putusan tersebut. Sehingga yang dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, untuk saat ini adalah mengawal pelaksanaan UU Cipta Kerja, agar tidak merugikan hak-hak asasi dan hak-hak konstitusionalitas masyarakat.
Beberapa catatan dari PSHK UII muncul menanggapi amar putusan MK ini, lanjut dia. Secara filosofis, judicial review atau pengujian UU ditujukan untuk membatasi besarnya kekuatan politik pembentuk UU serta ditujukan untuk menimbulkan prinsip kehati-hatian bagi pembentuk undang-undang.
"Mengingat, keberlakuan suatu UU turut berdampak pada hak-hak asasi dan hak-hak konstitusional warga negara," tambah Melani.
Baca Juga:Revisi UU PPP Dinilai Hanya Timbulkan Masalah Baru Untuk Perbaikan UU Cipta Kerja
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, antara teknis pembentukan maupun substansi peraturan (formil dan materil) merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sehingga, adanya persoalan teknis dalam pembentukan suatu peraturan akan berdampak pada tidak dapat dilaksanakannya substansi peraturan yang dibentuk.
Uji formil terhadap suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi ditujukan untuk melihat keabsahan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehingga menurut PSHK UII, konsekuensi ketika suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan cacat formil atau tidak sah pembentukannya, maka seharusnya seluruh materi undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau batal demi hukum.
"Logika sederhananya, karena proses pembentukan peraturan tersebut tidak sesuai dengan asas dan norma yang ditetapkan oleh konstitusi, maka UU itu dibatalkan oleh MK," tuturnya lagi.
Diketahui, pada 25 November 2021 lalu, MK memutuskan agar dilakukan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena MK melihat pembentukan UU yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan'.
Di saat itu MK juga menyatakan, UU CK masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan.
Dalam amarnya, MK memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan dan apabila dalam kurun waktu yang ditentukan tidak dilakukan perbaikan, maka UU Nomor 11/2020 dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Serta beberapa amar lain terkait termasuk penjelasannya.
Kontributor : Uli Febriarni