Pria yang memiliki latar belakang pendidikan Bimbingan Konseling di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu menilai konsep childfree secara psikologis bahwa konsep ini muncul akibat dari anak yang memiliki luka batin. Kondisi keluarga yang jauh dari kata ideal membuat anak tidak mendapatkan kasih sayang yang diharapkan.
"Kenapa luka batin yang menjadi cikal bakal adanya pandangan childfree karena anak itu menderita waktu kecil, orang tuanya itu broken, coba kalau orang tuanya itu bahagia dan mengajarkan kalau berkeluarga itu seperti ini," paparnya.
Menurutnya childfree adalah wujud kebebasan sebagai manusia yang utuh dan tidak harus terikat dengan norma-norma tertentu. Seperti salah satunya yaitu memiliki anak.
"Tapi kembali lagi, memiliki keturunan itu sudah ada tuntunannya. Sudah ada fitrahnya," imbuhnya.
Baca Juga:Soroti Kerusakan di Jalan Perwakilan, Forpi Jogja Minta OPD Awasi Parkir di Lokasi Setempat
Pengaruh Budaya Barat
Psikolog Univeritas Gadjah Mada (UGM), Sutarimah Ampuni menilai ada banyak faktor yang tidak bisa dilepaskan begitu saja terkait munculnya pemikiran Childfree. Di antaranya adalah value atau nilai dari seorang individu itu sendiri terkait dengan kebebasannya.
Ia menyebut bahwa nilai-nilai mengenai kebebasan masyarakat Indonesia saat ini semakin menyerupai nilai yang dimiliki atau dianut oleh budaya orang-orang di negara barat. Hal itu dapat dilihat dari misalnya mengenai penghargaan atau penerimaan atas keberagaman orientasi seksual hingga kepercayaan yang dianut.
“Ini sama dengan childfree, intinya adalah mengenai kebebasan individu. Kebebasan untuk memilih, menentukan, ‘aku mau seperti apa’ itu kan semakin di-acknowledge. Munculnya ya itu penghargaan akan kebebasan individual,” kata Sutarimah saat dihubungi SuaraJogja.id.
Menurutnya saat ini orang-orang lebih terbuka terhadap segala macam nilai yang hadir di tengah masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai yang muncul itu kemudian diadopsi sebagai sebuah pemahaman sesuai dengan kondisi yang dirasakan.
Baca Juga:Capaian Vaksin Anak 81,5 Persen, Dinkes Jogja Targetkan Dosis 2 Selesai Februari
“Jadi kayak misalnya itu tadi, lebih kepada pergeseran nilai dan tentu saja juga faktor pendidikan ya, artinya orang lebih terbuka terhadap segala macam value. Kemudian terinformasi mengenai beragam value yang ada di luar sana gitu sehingga orang menjadi mengadopsi pemahaman itu,” ujarnya.