SuaraJogja.id - Tren pinjaman online (pinjol) yang macet hingga saat ini cukup besar. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat, dari total transaksi atau pencairan pinjaman online sekitar Rp 250 Triliun, sekitar Rp 5 Triliun diantaranya mengalami kemacetan.
"Memang sekitar Rp 5 triliun atau 3 persen dari sisi angka tahun 2022 ini," ungkap Sekretaris Jenderal (sekjen) AFPI, Sunu Widyatmoko dalam Indonesia Fintech Summit di Yogyakarta, Senin (12/12/2022).
Menurut Sunu, Non Perfoming Loan (NPL) atau pinjaman perbankan dengan kondisi debitur gagal melakukan pembayaran sesuai jadwal selama 90 hari. Namun akibat pandemi COVID-19 yang berkepanjangan serta kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu membuat sejumlah debitur tidak bisa membayar pinjaman tepat waktu.
Karenanya perbankan pun memberikan relaksassi kepada debitur untuk memperpajang pembayara. Persoalan ini yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kredit macet.
Baca Juga:Pinjol Ilegal Berkedok Koperasi di Manado Ancam Sebar Foto hingga Teror Keluarga Korban
"[Misal] ada pinjaman ke warung, warung macet akibat pandemi 90 hari belum buka, maka ada relaksasi nih. Untuk relaksasi kan butuh persetujuan lender (pemberi pinjaman), kalau lender tidak mau memberikan relaksasi kan otomatis dianggap kredit macet. Jadi bukan hanya dilihat dari sisi borower (peminjam-red) tapi juga lender. Apalagi kalau lendernya lebih dari satu pihak," ungkapnya.
Kredit macet, lanjut Sunu juga bisa disebabkan peminjam sulit untuk diminta membayar pinjaman. Padahal penagihan pinjaman tidak bisa dilakukan dengan kekerasan, termasuk verbal.
Karenanya dengan adanya integrasi di dunia perbankan antara Bank Indonesia, Orientasi Jasa Keuangan (OJK) serta pelaku usaha di bidang teknologi keuangan atau fintech maka para peminjam yang mangkir memenuhi kewajiban pembayarannya bisa diawasi. Sebab mereka tercatat di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
"Mereka yang [yang mengakibatkan kredit macet pinjaman] tidak akan ada akses lagi [untuk dapat pinjaman lagi]," ungkapnya.
Sementara Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Triyono Gani mengungkapkan reformasi dalam sektor keuangan dengan adanya Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) atau omnibus law keuangan perlu disambut baik. Aturan perundang-udangan tersebut saat ini telah ditandantangi pemerintah bersama Komisi XI DPR pada 8 Desember 2022 lalu.
Baca Juga:Polda Metro Jaya Terbang ke Manado Gerebek Kantor Pinjol Ilegal
"Dengan adanya ruu ppsk maka kedudukan hukum [untuk fintech menjadi lebih jelas," ungkapnya.
Bila RUU PPSK nantinya diketok jadi UU maka keberlangsungan fintech pun akan semakin diakui. Hal ini penting karena sebagian pihak mempertanyakan keberlangsungannya.
UU tersebut nantinya juga bisa menjadi payung hukum dalam memberantas aktivitas ilegal di sektor keuangan. Ada sanksi yang cukup berat dalam UU tersebut.
"Dengan adanyanya undang-undang maka fintech bisa dibuktikan kalau itu adalah suatu jenis yang bisa dilakukan di ojk. Detil undang-undangnya kita tunggu keluar secara resmi," tandasnya.
Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Budi Ganda Soebrata menambahkan, partisipasi pengguna fintech saat ini sebenarnya semaki meningkat. Dalam Indonesia Fintech Summit keempat tahun ini misalnya sudah diikuti lebih dari 1,5 juta partisipan.
"Ini artinya meningkat 36 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Peningkatan minat masyarakat didorong oleh meningkatnya jumlag fintech yang dipromosikan. Tahun ini lebih dari 70 fintech yang menawarkan 90 lebih insentif konsumen, termasuk dalam bentuk cashback," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi