SuaraJogja.id - Salah satu lembaga penelitian, Kolaborasi Strategis (Kolasse) menggelar riset terkait partisipasi pemilih kelompok umur produktif di DIY. Politik uang menjadi salah satu isu yang diangkat dalam penelitian tersebut.
Penelitian sendiri dilakukan di 50 kelurahan yang tersebar di 5 kabupaten/kota di DIY, dengan proporsi responden yang didasarkan pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Sampel pada penelitian ini sebesar 484 responden dengan proporsi gender berimbang, margin of error kurang lebih 4,45 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dalam isu politik uang, sebesar 68,8 persen masyarakat pesimis bahwa praktik itu akan hilang di Indonesia. Sementara 25,8 persen responden mengatakan akan menerima dan memilih kandidat yang diminta apabila menerima uang.
Dosen DPP UGM dan Pakar Kepemiluan Mada Sukmajati menuturkan ada banyak faktor yang memengaruhi fenomena politik uang masih terus terjadi. Salah satu faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor budaya.
Baca Juga:Panas Politikus Senayan Gegara Ucapan Ketua KPU Soal Kemungkinan Pemilu Cuma Coblos Partai
"Di budaya Jawa atau pada umumnya Indonesia ada mekanisme budaya dalam artian kalau orang diberi itu tabu untuk menolak tapi kalau sudah menerima pemberian itu ada dorongan kewajiban dari diri yang menerima untuk membalas kebaikan dari memberi ini," ujar Mada dalam acara rilis hasil penelitian melalui daring, Kamis (29/12/2022).
Budaya itu, kata Mada, yang kemudian sering kali memang dimanfaatkan oleh para peserta pemilu dalam konteks politik uang. Sehingga dengan cara memanfaatkan kultural tadi mereka juga mengerahkan politik uang di dalam politik elektoral.
"Politik uang masih sangat kuat, dan ini perlu untuk menjadi catatan bagi para pemangku kebijakan, terutama mengingat banyak warga masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan adanya praktik politik uang," tuturnya.
Disampaikan Mada, banyaknya faktor yang membuat fenomena politik uang itu terus berlangsung dibarengi dengan banyak pula strategi yang bisa diterapkan untuk menanggulangi praktik kotor tersebut. Termasuk memanfaatkan pendekatan yang juga bersifat kultural.
"Pendekatan yang bersifat kultural bisa jadi itu yang menjadi efektif. Tidak bisa hanya mengandalkan strategi yang bersifat legal formal, main hukum, aturan hukum dan seterusnya," terangnya.
"Sebab tadi, itu sudah dianggap tidak dipercaya lagi susah sekali untuk membuktikan praktik politik uang di sentra penegakan hukum terpadu yang melibatkan penyelenggara pemilu dan lembaga keadilan," tambahnya.
Menurutnya anak-anak muda bisa mengambil peran dalam strategi-stratgi kebudayaan dalam rangka melawan maraknya praktik politik uang secara umum. Kemudian secara khusus juga adalah strategi budaya untuk keluar dari jebakan cara berpolitik yang lama yang identik dengan hal-hal yang sifatnya negatif.
Khusus untuk konteks budata di Jogja sendiri, Mada menilai sudah ada banyak ide pemikiran yang bisa diterapkan. Beberapa pihak juga sudah mengembangkan strategi misalnya dengan desa anti politik uang.
"Tapi tentu saja tidak cukup kalau hanya satu dua, harus banyak dan mengcover secara komprehensif karena penyebab politik uang ada banyak. Ada sisi lemahnya aturan, penegakkannya, tingkat ekonomi yang memaksa orang mau berkompromi soal politik uang, kemudian budaya, sosial, psikologis dan lainnya," paparnya.
Sementara itu, COO Kolasse, Dosen Administrasi Publik Undip Satria Aji Imawan menuturkan secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok usia produktif di DIY puas terhadap kinerja pemerintah pusat dan provinsi. Meski puas terhadap kebijakan pemerintah provinsi, kenaikan UMP pada 2023 masih dinilai belum mencukupi kebutuhan.
Selain itu dalam penelitian itu masyarakat juga memiliki komitmen kuat terhadap Pancasila. Berkaitan dengan politik uang, masyarakat cukup permisif, butuh perhatian serius dari para stakeholder kepemiluan.
"Tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat yang tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi modal sosial bagi pemerintah daerah untuk melakukan campaign awareness Pemilu bersih," kata Satria.