SuaraJogja.id - Ratusan Gus dan Kyai Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Nahdliyin Nusantara menyelenggarakan Musyawarah Besar (Mubes) di Yogyakarta, Minggu (28/01/2024). Mubes kali ini sengaja dilakukan untuk menyikapi rangkaian harlah NU ke-101 yang dipusatkan di Yogyakarta selama beberapa hari ke depan.
Tercatat sembilan sikap politik disampaikan para Kyai dan Gus bagi para pengurus NU berdasarkan tinjauan dari berbagai aspek keilmuan, dasar bersama khittah, AD ART, Qonun Asasi, dan Uswah-uswah dari para Masyayikh Nahdlatul Ulama. Sikap politik ini disampaikan agar NU kembali pada khitah yang seharusnya, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan alih-alih terjun terlalu dalam di politik praktis.
"Kami mencermati perubahan perubahan yang terjadi di jamiyah NU dan bangsa secara keseluruhan sehingga dalam forum ini kami menyampaikan sikap politik," papar Koordinator Nahdliyin Nusantara, Hasan Bashri Marwa usai mubes, Minggu petang.
Menurut Gus Hasan, semua unsur di dalam jamiyah NU, baik Nahdliyin, pengurus NU, dan politisi dari lingkungan NU diminta mentaati Khittah NU. Mereka dilarang melakukan pengkhianatan kepada para sesepuh dan para pendiri NU.
Baca Juga:NU Dijadwalkan Gelar Puncak Harlah ke-101 di UNU Yogyakarta
Konbes dan Harlah NU hendaknya benar-benar dilaksanakan sesuai amanah AD RT NU sebagai kewajiban pengurus pada setiap periode. Kegiatan itu sebagai bentuk khidmah Jam'iyyah NU dan bukan menjadi alat mengorganisir dukungan kepada salah satu Paslon dalam kontestasi capres-cawapres.
"Sehingga Jamiyah membicarakan masalah-masalah penting dan mendasar yang diamanatkan pada pendiri dalam AD RT, seperti Kemandirian Jamiyah, independensi ulama, diversifikasi generasi muda NU, pembenahan organisasi secara berkelanjutan dan lain-lain," ungkapnya.
Pengurus NU di semua tingkatan, lanjut Gus Hasan diminta memberi kesempatan kepada semua capres-cawapres yang berkontestasi agar dapat menyampaikan visi misinya. Mereka diminta tidak memihak kepada salah satu paslon sebagai amanah dari Khittah NU.
"Pemihakan kepada salah satu paslon yang dilakukan oleh Jamiyah NU merupakan pelanggaran atas Khittah NU," tandasnya.
Pengurus NU pun diminta mengembalikan kewibawaan para ulama dan kyai untuk tidak jatuh kepada maqam politisi-politisi dan politik praktis. Dengan demikian para ulama di dalam jamiyah seyogyanya berkhidmah untuk kepentingan bangsa, umat dan Jamiyah untuk jangka panjang.
Mereka juga diharapkan mengembalikan marwah Jamiyah di tengah berbagai benturan dan turbulensi politik, sehingga sebagian pengurusnya dicokok oleh KPK. Salah satunya dengan cara membersihkan struktur NU dari bisikan-bisikan politisi pragmatis dan tidak terlalu dekat dengan figur-figur politisi pragmatis.
"Pengurus NU mestinya tidak terjebak pada politik transaksional yang akan menghancurkan marwah dan nilai nilai keulamaan, dan sebaliknya mengedepankan politik keumatan, kebangsaan dan kerakyatan," paparnya.
Gus Hasan menambahkan, sesuai dengan prinsip politik atau asas politik ASWAJA. Karakter kepemimpinan Jam'iyah NU adalah kepemimpinan keulamaan yang mengedepankan musyawarah dan mendengarkan poros-poros kyai-kyai di daerah.
Kepemimpinan Jam'iyah NU adalah kepemimpinan partisipatif bukan kepemimpinan rezim dan perorangan yang dipaksakan. Karenanya setiap keputusan organisasi/jam'iyah seyogyanya diambil secara partisipatif dan terbuka dengan berpijak pada Khittah NU dan Qonun Asasi serta AD ART.
Semua elemen di dalam NU diminta terbiasa dengan amaliah saling mengingatkan satu sama lain dalam rangka menegakkan kultur keterbukaan dalam perbedaan pendapat. Dengan demikian mereka saling menghargai dengan sesama pengurus dan warga NU.
"Kami menyerukan kepada seluruh warga NU untuk menyalurkan aspirasi politiknya berdasarkan kebijakan hati nurani dan dilandasi oleh Khittah NU, Qonun Asasi, AD ART dan politik kemaslahatan aswaja an nahdliyah," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi