SuaraJogja.id - "Saya bosen liatnya mas. Sudah muak. Semoga ini jalan terbaik buat saya dan anak saya."
Sepenggal perkataan itu disampaikan Rini (bukan nama sebenarnya), warga Sleman yang hingga saat ini masih mengurus perceraian rumah tangganya.
Perceraian yang banyak dianggap sebagai perpecahan keluarga justru dianggap sebagai solusi terbaik bagi Rini. Dan mungkin bukan hanya Rini, ada banyak perempuan-perempuan di luar sana yang memilih untuk berpisah dari suaminya karena terjebak judi online.
Judi online, bisa dianggap sebagai salah satu dampak negatif pesatnya perkembangan digital saat ini. Meskipun perkembangan itu juga mempermudah kehidupan sehari-hari, mulai dari akses informasi hingga layanan finansial.
Baca Juga:Lindungi Nasabah dari Jerat Judi Online, BRI Perkuat Sistem Keamanan
Tidak banyak disorot, judi online kini muncul sebagai salah satu faktor utama keretakan rumah tangga, mengancam kestabilan ekonomi dan psikologis keluarga.
Judi online telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam keluarga muda yang sering kali memiliki kerentanan ekonomi.
Berdasarkan wawancara dengan Yusuf, seorang hakim Pengadilan Agama Kabupaten Sleman, ia mengungkapkan bahwa judi online menjadi salah satu penyebab signifikan perceraian di wilayahnya. "Judi online saya akui memang menjadi salah satu penyebab perceraian di Sleman. Masuknya kalau di kami itu rata-rata (perceraian) dengan alasan ekonomi," ujar Yusuf, saat diwawancarai Suara.com pada Selasa (8/10/2024).
Salah satu masalah yang muncul dari judi online adalah penggunaan pinjaman online (pinjol) untuk membiayai kebiasaan berjudi. Pinjaman ini sering kali berujung pada bencana, terutama ketika pasangan terjerat dalam lingkaran utang yang terus menumpuk. Yusuf juga mencatat bahwa dalam beberapa kasus yang ditanganinya, istri menjadi korban teror debt collector karena pinjaman yang digunakan suami untuk berjudi.
"Yang saya tangani sendiri saja, perceraian yang dipengaruhi judi online ada beberapa. Bahkan, ada yang sampai mengajukan pinjaman online untuk judi itu. Akhirnya, istrinya yang kena teror debt collector judol," ujar Yusuf yang juga menjabat sebagai Humas Pengadilan Agama Sleman itu.
Baca Juga:Pukat UGM: Judi Online di KPK, Tanda Parah Runtuhnya Integritas
Perjudian juga sering kali memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam banyak kasus, suami yang ketahuan berjudi bukannya berhenti, tetapi malah melampiaskan kekesalannya kepada istri. "Ada kasus, di mana suami yang ketahuan judi online bukannya taubat tapi malah melakukan KDRT pada istri. KDRT yang saya maksud tidak hanya secara fisik ya, tapi juga secara psikis," tambah Yusuf.
Trauma psikologis yang dialami oleh istri dan anak-anak sering kali menjadi faktor pemicu perceraian, di mana rumah tangga tak lagi menjadi tempat aman.
Fakta Meningkatnya Perceraian Akibat Judi Online
Data dari Pengadilan Agama Sleman, pada tahun 2024, terdapat 987 kasus perceraian. Dari jumlah tersebut, 190 di antaranya diajukan dengan alasan ekonomi, sepertiganya diperkirakan terkait dengan perjudian. Selain itu, 620 kasus perceraian diajukan dengan alasan perselisihan atau pertengkaran, dengan setidaknya 10 persen dari kasus ini dipicu oleh judi online dan pinjaman online.
Para pelaku judi online sering kali tidak memberi tahu pasangan mereka mengenai kebiasaan berjudi, sampai akhirnya masalah besar seperti teror debt collector atau penjualan aset keluarga muncul ke permukaan. Hal ini menyebabkan rasa tidak nyaman dalam rumah tangga, di mana istri sering kali menjadi korban tekanan mental dan sosial.
"Di rumah kan nyari kenyamanan dan keamanan. Tapi gara-gara judi online, malah bikin gak nyaman," kata Yusuf. Dalam kasus-kasus yang ia tangani, banyak pasangan muda yang mengajukan cerai dengan rentang usia 25 hingga 35 tahun.
Yusuf menuturkan, lebih dari 70 persen perceraian di Sleman terjadi pada pasangan dengan usia produktif 25-35 tahun, sebuah angka yang mencerminkan tingginya dampak perjudian online pada rumah tangga muda. Tidak hanya menciptakan tekanan finansial, judi online juga menyebabkan konflik berlarut-larut yang sulit diselesaikan, meski ada usaha untuk berdamai atau melakukan konseling.
Perkembangan Judi Online dan Dampaknya
Penelitian menunjukkan bahwa kecanduan judi online memiliki dampak yang merusak tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi keluarga mereka. Dr. Rachel Volberg, seorang peneliti terkemuka dalam studi perjudian, menyatakan bahwa kecanduan judi memiliki efek domino yang merusak hubungan interpersonal, terutama dalam rumah tangga. "Ketika seseorang kecanduan judi, mereka sering kali mengabaikan tanggung jawab keluarga, menciptakan konflik dan tekanan emosional yang luar biasa," ungkapnya dalam jurnal Journal of Gambling Studies (2019).
Kecanduan judi online berperan besar dalam perkembangannya di Indonesia. Hingga saat ini, sudah ada 5.000 rekening terkait transaksi judi online yang diblokir.
Perputaran uang dari judi online juga tak main-main, yakni mencapai Rp327 triliun pada tahun 2023 lalu. Pada triwulan pertama tahun 2024 saja, perputaran uang mencapai Rp100 triliun.
Judi online juga menjadi salah satu penyebab utama konflik perkawinan dan perceraian, menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Lincoln pada 2018.
Penelitian itu menyebut, 64 persen pasangan yang terlibat dalam judi online mengakui bahwa kebiasaan berjudi telah menimbulkan ketegangan yang berat dalam hubungan mereka. Kecanduan judi menciptakan ketidakstabilan keuangan yang sering kali menyebabkan hilangnya kepercayaan antara pasangan.
Sudah banyak penelitian yang menegaskan bahwa judi online terbukti memiliki dampak yang merusak, baik secara ekonomi, psikologis, maupun sosial. Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan peningkatan kasus kecanduan judi online, terutama di kalangan generasi muda. Survei tersebut juga menemukan bahwa lebih dari 30 persen pengguna judi online mengaku mengalami masalah keuangan yang serius akibat aktivitas mereka.
Laporan dari Institute for Criminal Policy Research pada 2020 lalu menjelaskan, judi online memiliki kaitan erat dengan meningkatnya kejahatan siber, seperti penipuan, pencucian uang, dan penyebaran malware. Fenomena ini tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga menghambat perkembangan ekonomi masyarakat karena banyak pelaku judi terjerat dalam utang, pinjaman online, atau bahkan kehilangan aset berharga mereka.
Melawan Judi Online
Pemerintah Indonesia sejatinya sudah memiliki regulasi yang menekan judi online. Mulai dari UU 1/2023 Pasal 426, UU ITE Pasal 27 ayat (2) atau UU 11 Tahun 2008, KUHP Pasal 303 ayat (1) hingga Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran yang juga relevan dengan transaksi keuangan terkait perjudian online.
Kominfo hingga saat ini terus berupaya melakukan pemblokiran situs-situs judi online. Namun langkah ini dinilai masih belum cukup. Banyak situs judi yang berpindah-pindah server atau menggunakan metode enkripsi untuk tetap beroperasi.
Pemerintah bisa memperkuat kolaborasi antar lembaga, baik keuangan maupun media dalam upaya mengatasi judi online. Banyak kasus judi online yang melibatkan transaksi keuangan yang tidak terdeteksi oleh otoritas terkait. Penelitian dari International Monetary Fund (2020) menyarankan pentingnya kerja sama antara pemerintah dan lembaga keuangan untuk memantau aktivitas yang mencurigakan dan mencegah penyaluran dana untuk judi online.
Menjalin kerja sama dengan bank dan lembaga keuangan lainnya bisa menjadi pilihan guna memblokir transaksi yang terindikasi digunakan untuk perjudian daring. Pembatasan akses terhadap sumber dana untuk berjudi akan memberikan tekanan tambahan pada para pelaku judi online untuk menghentikan kebiasaan mereka.
Terakhir, Kominfo memiliki peran penting dalam memerangi judi online melalui pengembangan sistem pemantauan dan pemblokiran otomatis untuk mendeteksi dan memblokir situs judi yang muncul di jaringan internet Indonesia. Riset Kaspersky pada 2021 lalu menyebutkan, penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat membantu memonitor dan menutup situs-situs judi dengan lebih cepat dan efisien.
Pemerintah dapat bekerja sama dengan penyedia layanan internet dan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem pemantauan yang lebih canggih guna mengidentifikasi situs-situs judi dan menutupnya sebelum mereka menyebar lebih luas.