Jangan hanya Kaji Perilaku Pemilih di DIY saja, Kesbangpol Diminta Riset Kandidat hingga Penyelenggaraan Pemilu

Ia tak mau menutup mata bahwa di momen pemilu penggunaan politik uang menjadi strategi pada kandidat.

Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 05 Desember 2024 | 21:04 WIB
Jangan hanya Kaji Perilaku Pemilih di DIY saja, Kesbangpol Diminta Riset Kandidat hingga Penyelenggaraan Pemilu
Sejumlah narasumber memberikan paparannya terhadap hasil survei pemilih di DIY pada Pemilu 2024 kemarin di FGD yang dihelat di Hotel Grand Serela, Sleman, Kamis (5/12/2024). [Suarajogja.id/Baktora]

SuaraJogja.id - Tingkat partisipasi pemilih di DIY selama Pemilu 2024 dianggap baik. Dari data yang dikeluarkan KPU DIY, tingkat partisipasi warganya mencapai angka unik 88,8 persen.

Kajian terhadap karakter pemilih di Kota Pelajar pun dilakukan oleh sejumlah peneliti dan menemukan perbedaan signifikan dari wilayah lain di luar Jogja. Kesbangpol DIY yang menginisiasi survei karakter pemilih DIY menemukan bahwa responden menentukan kandidat lewat falsafah Jawa.

"Jadi dari survei yang kami buat, jika dikaitkan dengan politik, tindak tanduk warga dalam aktivias politik dinaungi oleh falsafah Jawa ini," ujar Ketua Tim Riset, yang juga Konsultan Kesbangpol DIY, Ranggabumi Nuswantoro saat memaparkan hasil risetnya dalam FGD yang dilaksanakan Hotel Grand Serela, Sleman, Kamis (5/12/2024).

Forum diskusi itu pun juga membuka kesempatan bagi peserta yang hadir memberikan masukan. Salah satu penggiat politik, yang juga Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indoensia (SBSI), Dani Eko Wiyono menyebutkan ada beberapa pemilih yang justru enggan menggunakan hak suaranya.

Baca Juga:Survei Kajian Perilaku Pemilih dalam Pemilu 2024 Soroti Partisipasi Generasi Z di DIY

"Kalau bicara soal Jogja, hampir warganya datang dari berbagai daerah. Tetapi beberapa orang mengaku tidak mau memilih, kenapa?, yang dipilih saja orangnya buruk. Nah bagaimana kepercayaan itu harusnya didesain oleh kandidat," ujar Dani.

Ia melanjutkan bahwa sejauh ini kajian pemilih saat Pemilu termasuk Pilkada memang banyak dilakukan, namun kajian terhadap pelaku atau calon pemimpin ini jarang dilakukan.

"Seharusnya lembaga terkait juga perlu mengkaji bagaimana kandidat ini berpolitik. Termasuk juga ya money politic-nya," kelakar Dani.

Ia tak mau menutup mata bahwa di momen pemilu penggunaan politik uang menjadi strategi yang selalu muncul, meskipun Kesbangpol dan lembaga lain kerap memberikan edukasi untuk memerangi cara-cara tersebut.

"Nah nantinya jangan sampai politik ini justru digunakan sebagai alat kekuasaan. Harusnya politik digunakan untuk alat kedaulatan," kata dia.

Baca Juga:Antisipasi Konflik Susulan, Pemda DIY Gelar Konsolidasi Bahas Demo Mahasiswa Papua yang Pecah di Kota Jogja

Rangga juga menanggapi bahwa memang kajian terhadap calon atau kandidat pemilu, termasuk penyelenggaraan pemilu tak banyak dilakukan. Periset di bawah CV. Madani Callysta Saibuyun ini memang tak menjelaskan sebab belum adanya kajian terhadap entitas tersebut.

"Tapi memang ini bisa jadi catatan kami untuk mulai mengkaji lebih jauh kandidat. Jadi tak hanya pemilihnya saja," ungkap dia.

Ia juga menyinggung terhadap praktik money politic yang diklaim sudah banyak pemilih tolak. Dari risetnya ada 38,8 persen responden tak setuju dengan pemberian barang ketika pemilu. Namun sebanyak 11 persen-an menjawab mereka setuju dengan politik uang.

Terlepas dari kajian itu, memang seharusnya ada penelitian terhadap kandidat mengapa keputusan mereka termasuk tim pemenangnya mengambil langkah politik uang dalam strategi pemenangan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak