Gusti Kukuh Hestrianing, cucu Sri Sultan Hamengkubuwono VII, mengungkapkan bahwa Plengkung Nirbaya memiliki makna filosofis yang mendalam. Karena Plengkung ini memiliki makna yang sakral.
"Plengkung Nirbaya berasal dari kata 'nir' yang berarti tanpa, dan 'baya' yang berarti bahaya. Secara harfiah, gerbang ini melambangkan tempat perjalanan tanpa bahaya, namun bagi Sultan, gerbang ini justru memiliki makna sebaliknya, yaitu jalan menuju kepergian terakhir," ujar Gusti Kukuh.
Menurut tradisi yang berkembang di lingkungan Keraton, Plengkung Nirbaya adalah jalur yang hanya dilewati oleh Sultan saat jenazahnya akan dibawa ke Makam Raja-raja di Imogiri.
Oleh karena itu, selama masih berkuasa, seorang Sultan dilarang keras melewati gerbang ini.
Baca Juga:Batal Dibuat Satu Arah, Plengkung Gading Ditutup Total
Sejarawan Yogyakarta, R. Bambang Sutopo, menjelaskan bahwa larangan ini berkaitan erat dengan konsep kepemimpinan dalam budaya Jawa.
Di mana Sultan dianggap memiliki hubungan spiritual dengan Keraton dan rakyatnya.
"Melewati Plengkung Nirbaya sebelum waktunya dapat dianggap sebagai isyarat buruk bagi kekuasaannya," jelasnya.
Hingga kini, masyarakat sekitar masih percaya pada mitos yang menyelimuti Plengkung Nirbaya.
Konon, siapa pun yang bukan keturunan raja dan melewati gerbang ini tanpa niat yang jelas bisa mengalami nasib sial atau gangguan mistis.
Baca Juga:Ujicoba Satu Arah Plengkung Gading Mulai Diberlakukan, Sejumlah Pengendara Motor Kecelik
Meskipun hanya sebatas kepercayaan, larangan ini tetap dijaga oleh Keraton Yogyakarta sebagai bentuk penghormatan terhadap adat dan budaya Jawa yang telah berlangsung selama ratusan tahun.