Waspada Kemarau Basah: Jangan Kaget Jika Harga Cabai dan Bawang Merah Melonjak

Melalui prediksi ini diharapkan dapat membantu mengurangi kerugian dan biaya yang ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologis.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 16 Juli 2025 | 15:09 WIB
Waspada Kemarau Basah: Jangan Kaget Jika Harga Cabai dan Bawang Merah Melonjak
Ilustrasi cabai merah yang harganya diprediksi melonjak. (Freepik)

SuaraJogja.id - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa hujan masih akan turun di sejumlah lokasi pada musim kemarau kali ini.

Anomali cuaca ini kerap disebut sebagai fenomena kemarau basah.

Pakar Bidang Agrometeorologi, Ilmu Lingkungan, dan Perubahan Iklim Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, menyatakan kewaspadaan dalam membaca situasi ini.

Bukan hanya soal terjadinya bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor.

Baca Juga:Panen Raya Menanti, Kulon Progo Terima Traktor & Pompa Air: Petani Siap Tingkatkan Produksi

Namun ada hal lain yang patut diwaspadai yakni terkait persoalan pangan.

Apalagi diprediksi fenomena kemarau basah diprediksi akan berlangsung selama tiga bulan ke depan atau setidaknya hingga Oktober 2025.

Menurutnya, dampak kemarau basah sendiri sudah sangat dirasakan petani.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, terlebih saat bulan Mei-Juni, di mana petani sudah bisa menanam komoditas hortikultura seperti cabai atau bawang merah.

Sedangkan di periode yang sama bahkan hingga Juli pada 2025 ini intensitas hujan masih tinggi.

Baca Juga:Cuaca Ekstrem Hantui Jogja, Kapan Berakhir? Ini Kata BMKG

"Tidak sedikit petani mengalami gagal tanam, diakibatkan perhitungan petani yang meleset," kata Apri, Rabu (16/7/2025).

Para petani menganggap di bulai Mei-Juni, yang notabene secara normal masuk musim kemarau, curah hujan sudah menurun.

Sehingga petani bisa menanam namun ternyata justru sebaliknya.

Masih tingginya intensitas hujan menyebabkan banjir di lahan.

Sehingga akan menyebabkan kegagalan saat tanam yang pada akhirnya petani tidak bisa melakukan penanaman atau pemanenan (puso).

Kendati berdampak negatif, kata Apri, kemarau basah juga dapat berdampak secara positif untuk pertanian.

Dia bilang peningkatan intensitas curah hujan ini akan menguntungkan untuk wilayah-wilayah yang kering dan tadah hujan.

"Sehingga ini akan membuat ketersediaan air di wilayah-wilayah tersebut cukup dan petani di wilayah tersebut bisa melakukan aktifitas penanaman, seperti di wilayah Papua dan Indonesia bagian Timur lainnya," ujarnya.

Meski begitu, Apri menyampaikan perlunya pencegahan dan antisipasi terkait dengan kemarau basah.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan.

Di antaranya menyangkut prediksi cuaca masa depan secara nasional dan mendetail sampai pada level desa atau lahan.

Termasuk informasi yang dapat tersampaikan kepada masyarakat, terutama terkait dengan anomali cuaca (La Nina).

Melalui prediksi ini diharapkan dapat membantu mengurangi kerugian dan biaya yang ditimbulkan oleh bencana hidrometeorologis sebagai dampak dari La Niña.

"Prediksi awal terjadinya La Niña ini bermanfaat dalam membantu perencanaan dan pengelolaan berbagai sektor seperti sumber daya air, energi, transportasi, pertanian, kehutanan, perikanan serta menghindari atau mengurangi potensi kerugian yang lebih besar," kata dia.

Apri menyebut diperlukan juga edukasi secara terus menerus mengenai La Nina dan fenomena anomali cuaca lainnya serta dampaknya kepada masyarakat.

Dia menilai saat ini sudah saatnya penyediaan asuransi pertanian terkait kegagalan panen petani akibat La Niña atau fenomena anomali iklim lainnya.

"Tak kalah penting bisa memastikan kesiapan sarana dan prasarana untuk menghadapi La Nina, seperti ketersediaan pompa untuk pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier/kwarter, menggunakan benih tahan genangan seperti Inpara 1-10, Inpari 29, Inpari 30, Ciherang, dan lainnya," ujar dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak