"Militerisme belum tentu menciptakan karakter. Karakter itu juga dibentuk dari budaya, dari bahasa, dari lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara utuh," ungkapnya.
Dwi menegaskan, penyelenggaraan sekolah rakyat harus diawali dengan kajian yang komprehensif.
Mulai dari pemetaan kebutuhan di tiap kabupaten/kota, identifikasi jumlah anak tidak sekolah, hingga rencana kurikulum dan sistem pengajarannya.
Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya mengeksekusi instruksi pusat, tetapi juga mampu mengkritisi dan menyesuaikan dengan konteks lokal.
Baca Juga:Intip MPLS Sekolah Rakyat Sleman Mulai dari Kesehatan Total, Pendidikan Karakter, dan AI
Pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat, termasuk tokoh pendidikan, budaya, dan orang tua siswa harus dilakukan.
"Kalau tidak dimulai dengan kajian yang mendalam, ya hasilnya akan tambal sulam. Ini bisa jadi proyek yang hanya menyentuh permukaan. Sekolah rakyat itu ide bagus. Tapi jangan sampai jadi proyek coba-coba. Pendidikan itu menyangkut masa depan anak-anak kita. Tidak bisa dijalankan dengan tergesa dan tanpa arah yang jelas," ujar dia.
Sebelumnya Kepala Dinas Sosial (dinsos) DIY, Endang Patmintarsih, mengungkapkan hingga pertengahan tahun ini sudah ada dua sekolah rakyat yang resmi dibuka di wilayah DIY.
Masing-masing berada di Kabupaten Bantul dan Sleman.
Saat ini ada 275 siswa di DIY yang mengikuti Sekolah Rakyat.
Baca Juga:Juli 2025, 200 Sekolah Rakyat Dibuka, Prioritaskan Guru Lokal dan Koneksi Internet
Sebanyak 200 siswa di Sekolah Rakyat di Bantul, sisanya 75 siswa bersekolah di Sekolah Rakyat di Sleman.
"Para siswa tidak hanya memperoleh akses pendidikan formal gratis, tapi juga fasilitas lengkap mulai dari laptop, seragam, hingga kebutuhan pribadi sehari-hari. Makan tiga kali sehari, ada snack, sepatu, tas ransel, semua kami siapkan," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi