Sri Raharjo memberikan beberapa tips guna membedakan beras alami dan beras oplosan.
Hal itu bisa dilakukan melalui pengujian sederhana di rumah.
Mulai dari melihat dari ciri-ciri fisik seperti warna yang terlalu putih, aroma kimia, atau hasil tes air dan api dapat menjadi indikasi awal.
"Kalau beras direndam air lalu mengambang atau air berubah warna atau saat dibakar mengeluarkan bau plastik, maka patut dicurigai mengandung bahan berbahaya," ujar dia.
Baca Juga:Rahasia Jogja Kurangi Sampah Hingga 70 Persen: Insentif Penggerobak jadi Kunci
Selain itu masyarakat diimbau lebih waspada dalam memilih beras untuk dikonsumsi.
"Masyarakat bisa mulai dengan membeli beras berlabel SNI, dan sesekali mengganti asupan karbohidrat dengan sumber lain seperti umbi-umbian," pesannya.
Lebih dari itu, dia mendorong tentang pentingnya penguatan sistem pengawasan serta distribusi pangan untuk mencegah kasus beras oplosan berulang.
Salah satu upaya yang disarankan yakni melalui sertifikasi ketat di tingkat distributor, edukasi kepada pedagang dan konsumen, serta pemanfaatan teknologi pendeteksi cepat di pasar.
"Sanksi hukum saja tidak cukup, edukasi dan teknologi deteksi harus jadi bagian dari strategi pengawasan pangan kita," tegasnya.
Baca Juga:30 Tahun Jogja Pertahankan Gamelan: Lawan Deru Sound Horeg hingga Rawat Akar Budaya
Klaim Tak Ada Temuan di Jogja
Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Yuna Pancawati menyebut sementara ini tak ada temuan terkait dengan beras premium oplosan di wilayahnya.
Maupun juga beras oplosan dengan kandungan berbahaya.
Dua pasar besar di Kota Jogja yakni Prawirotaman dan Beringharjo pun sudah dicek dan dipastikan nihil beras oplosan premium.
Yuna juga memastikan bahwa kabar soal temuan beras oplosan di Gunungkidul pun tidak benar.
Pasalnya setelah dicek tidak ada bukti maupun indikasi beras oplosan yang beredar di pasaran wilayah Gunungkidul.