- Guru Bahasa Inggris SMP Gotong Royong Yogyakarta, Amelita Tarigan, hadapi tantangan kesejahteraan dan perubahan Kurikulum Mendalam.
- Implementasi kurikulum baru sulit karena siswa kesulitan dasar; AI membuat siswa tampak mampu namun tidak paham konsep.
- Guru menghadapi masalah gaji tidak optimal dan tantangan kerjasama dengan wali murid yang mendikte proses pendidikan.
SuaraJogja.id - Amelita Tarigan, salah seorang guru sekolah swasta kecil SMP Gotong Royong, Kota Yogyakarta masih harus menelan pil pahit. Bilamana tidak, dalam peringatan Hari Guru, Lita yang mengajar matapelajaran (mapel) Bahasa Inggris lebih dari 23 tahun masih harus menghadapi masalah klasik pendidikan.
Tak hanya soal kesejahteraan guru yang belum juga terwujud optimal, kini dia masih harus menghadapi lagi perubahan Kurikulum Merdeka ke Deep Learning atau Kurikulum Mendalam. Belum lagi ancaman AI atau kecerdasan buatan yang mengancam profesi mereka.
"Yang pasti kami tetap bersemangat ya meski banyak masalah, apa pun kondisinya. Apalagi momennya ini Hari Guru," papar Lita di Yogyakarta, Selasa (25/11/2025).
Perubahan kebijakan dan kurikulum yang datang tanpa ruang bernapas membuat banyak guru, termasuk dirinya gamang. Salah satunya mengenai konsep Kurikulum Mendalam, yang diperkenalkan pemerintah dengan visi memuliakan siswa.
Baca Juga:Mengejutkan! Ternyata Baru 11 Persen Warga Sleman Pakai Layanan Online Disdukcapil, Apa Alasannya?
Apalagi Lita harus mengajar di sekolah kecil dengan jumlah siswa tak lebih dari 13 orang. Di satu kelas VII misalnya, dia mengajar tiga siswa yang semuanya dari latar belakang ekonomi yang rendah.
Konsep memuliakan siswa dalam Kurikulum Mendalam yang digagas Kemendikdasmen saat ini memicu perdebatan internal antarguru. Belum lagi peraturan-peraturan yang pemerintah buat sekarang membuat mereka tidak bisa bereksplorasi.
"Ada beberapa guru yang menganggap memuliakan siswa itu malah sesuatu kemungkaran. Kadang-kadang interpretasi memuliakan itu yang membuat kita, lho kok dimuliakan. Akan tetapi bagi saya pribadi prinsipnya, anak itu juga partner kita. Kalau tidak ada siswa, kita juga tidak mungkin bisa bekerja ya," paparnya.
Bagi sekolah seperti SMP Gotong Royong yang banyak menampung siswa dengan keterbatasan akademis maupun ekonomi, implementasi kurikulum baru bukan perkara mudah. Apalagi saat ini banyak siswa yang kemampuan akademisnya dibawah rata-rata.
Contohnya seperti yang viral di sosial media (sosmed), siswa SMP belum bisa membaca ataupun berhitung. Dia sebagai guru hanya bisa mengelus dada karena artinya mereka harus mengajarkan mapel dasar di Sekolah Dasar (SD) selain mapel di tingkat SMP,
Baca Juga:Dari Luka Jadi Cahaya: Resep Hati 'Glowing' ala DRW Skincare dan Ustaz Hilman Fauzi
"Kalau di tempat saya, kan rata-rata kemampuan akademisnya di bawah rata-rata. Ketika murid kesulitan membaca dan berhitung, guru dipaksa bekerja ekstra. Misalnya 9 tambah 6, mereka masih pakai jari pada sudah di tingkat SMP," ungkapnya.
Persoalan ini diperparah dengan pemanfaatan AI yang sembarangan. Teknologi yang disebut-sebut sebagai penyelamat pendidikan justru jadi bumerang.
Siswa dengan mudah mengerjakan soal yang diberikannya. Namun saat ditanya lebih jauh, mereka seringkali tidak paham sama sekali.
"Misalnya ya, siswa kami minta membuat pantun, mereka cepat sekali membuatnya karena pakai AI, tapi saat saya tanya pantun itu apa, mereka tidak bisa jawab, ini miris sekali kan," lanjutnya.
Gaji yang Tak Sejalan dengan Beban
Sebagai Guru Tetap Yayasan (GTT) dengan masa kerja 23 tahun, penghasilan Lita saat ini mulai membaik meski masih jauh dari kata sejahtera. Baru setahun terakhir, perempuan 47 tahun ini bisa membawa pulan gaji sebesar Rp 2 juta per bulan sebagai tunjangan profesi.