Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 07 April 2022 | 17:08 WIB
Ilustrasi klitih (Suara.com/Iqbal Asaputro)

"Sayangnya terkadang karena ada kesepakatan harga, uang tali asih terpenuhi, itu permintaan korban, jadi lolos ke diversi," terangnya. 

Lewat adanya diskusi terpumpun tadi, ia berharap ada kesamaan persepsi di antara APH. Kalau memang ancaman hukuman atas pelanggaran yang dilakukan anak itu waktunya tujuh tahun ke atas, tidak bisa diversi.

"Dikembalikan lagi ke ruh SPPA, UU Sistem Peradilan Pidana Anak No.11/2012.  Yang diversi ya yang di bawah tujuh tahun saja," ucapnya. 

Ia juga berharap ada peninjauan ulang atas Perma, Perja (Peraturan Kejaksaan), Perka (Peraturan Kapolri). Ketika semua peraturan itu sudah sesuai penjabarannya atas penerapan diversi, silakan digunakan seperti biasa.

Baca Juga: Disdikpora Bantul Izinkan Penyebutan Nama Sekolah yang Terlibat Tawuran atau Kejahatan Jalanan, Ini Alasannya

"Kalau belum sesuai, ya mari kita kembalikan lagi ke ruh SPPA," ajak Yanti. 

Menurut Yanti, ketika kasus kejahatan yang dilakukan anak akhirnya sampai menjalani hukuman, --misalnya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak--, maka akan memberikan efek jera kepada pelaku.  

"Ada yang mengulang [kejahatannya], tapi sedikit persentasenya, menurut saya sepertinya ada faktor lain. Yang banyak pengulangan adalah yang penyelesaian secara diversi," sebut dia. 

Ia menyebut, pernah memberikan pertimbangan diversi kepada seorang anak yang merupakan pelaku kejahatan jalanan

"Ternyata mereka tidak kapok, mengulangi lagi, malah korbannya meninggal," ucapnya. 

Baca Juga: Kembali Marak Kejahatan Jalanan, Dispar DIY Sebut Berpotensi Rugikan Sektor Pariwisata

Sebetulnya, amanat SPPA memiliki marwah bahwa diversi bertujuan menghindarkan stigma pemenjaraan.

Namun, batasan yang perlu diberikan kepada penerima diversi, dalam SPPA harus dikaji ulang, tandas Yanti.

"Kalau korbannya meninggal dunia, atau luka berat tidak usah diversi. Kecuali kalau luka ringan," terangnya.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More