Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba

Harapan untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Yogyakarta sempat menjadi tumpuan besar Djaka Lodang agar bisa bertahan di era modern.

Chandra Iswinarno | Husna Rahmayunita
Selasa, 03 Desember 2019 | 07:00 WIB
Djaka Lodang: Jaya pada Era Kode Buntut, Menolak Punah di Zaman Pancaroba
Ilustrasi Abdullah Purwodarsono. [Suara.com/Rendra]
Salah satu pelanggan setia Majalah Djaka Lodang Purwadi yang juga merupakan Dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Yogyakarta menunjukan koleksinya. [Suara.com/Husna]
Salah satu pelanggan setia Majalah Djaka Lodang Purwadi yang juga merupakan Dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Yogyakarta menunjukan koleksinya. [Suara.com/Husna]

Dialah Purwadi (48), Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa Jawa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Purwadi mengaku sejak 2003 menjadi pelanggan tetap Djaka Lodang. Meski begitu, saat kuliah diakuinya Djaka Lodang sudah begitu populer di Yogyakarta.

Setiap minggu ada orang yang mengantarkan majalah itu ke rumahnya. Selesai dibaca, majalah itu pun ditawarkan kepada tamu yang berkunjung. 

Bagi Purwadi, Djaka Lodang merupakan aset budaya Jawa karena menjadi satu-satunya media berbahasa Jawa yang masih eksis di Yogyakarta.

Purwadi ingat betul, konten Djaka Lodang kali pertamanya berlanggganan di tahun 2003, tak jauh berbeda dengan saat ini. Rubrik unggulan tetap ada, hanya beberapa tambahan saja untuk keluaran terbaru.

Baca Juga:DIY Usul Materi Bahasa Jawa untuk Seleksi CPNS dan Kenaikan Pangkat

Meski begitu, Purwadi mengaku tidak begitu menggemari rubrik Jagading Lelembut. Dia justru menyukai rubrik yang membahas Sastra Jawa sesuai bidang keahliannya. Baginya hal itu lebih menarik, bahkan ia berharap Djaka Lodang bisa memperbanyak bahasan semacam itu.

“Ya kalau bisa perbanyak ajaran tentang sastra Jawa,” kelakar Purwadi yang menyilangkan satu kakinya di atas sofa.

Di tengah obrolan, Purwadi tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Selang semenit, ia kembali dengan membawa buku berbentuk besar. Ternyata buku besar itu merupakan kumpulan kliping dari media cetak yang memberitakan kegiatan dan karyanya.

Pada setiap lembar terakhir buku itu, muncul potongan Majalah Djaka Lodang. Nyatanya, ia rajin mengirimkan tulisan dan sudah beberapa kali diliput. Ia mengaku dengan cara tersebut bisa membantu melestarikan budaya Jawa, terlepas dari profesinya sebagai seorang dosen, penulis buku dan dalang.

“Saya sudah sering diberitakan sejak beberapa tahun lalu, khususnya saat jadi dalang di pagelaran wayang,” katanya kepadaku.

Baca Juga:Keren, Ada Angkringan di Jepang, Penjualnya Mahir Berbicara Bahasa Jawa

Lantaran itu, ia berharap Djoko Lodang bisa terus eksis di dunia modern ini meski kehadirannya bersaing dengan media online. Pun, ia berharap Pemprov Yogyakarta bisa menunjukkan kepedulian dengan majalah Djaka Lodang. Misalnya, menurut Purwadi, dengan memberikan bantuan lewat APBD untuk menjamin kelestarian salah satu aset budaya itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak