Dari 18 orang awak kapal yang ada, Supartono mengalami luka yang paling parah. Di antaranya, luka di rahang bawah Supartono serta di bagian lengan dan perut. Dalam keadaan tersebut, ia mencoba mencari bantuan dari kapal lain yang berlayar tak jauh dari tempat mereka. Sayangnya, badai salju yang terjadi membuat bantuan tidak bisa segera datang.
Supartono menceritakan, selama tiga hari kapalnya berjuang untuk dapat meraih tepi ke Pulau Tasmania. Ia menceritakan, keadaan badai salju cukup menguntungkan untuk membuat darahnya membeku. Jika saja suhu saat itu tidak minus, mungkin Supartono sudah kehabisan darah kala terombang-ambing tiga hari lamanya.
Setelah sampai ke daratan, Supartono segera dibawa ke rumah sakit. Ia menjalani 11 kali operasi besar dan koma selama enam minggu. Setelahnya, Supartono dirawat di ICU selama empat bulan sebelum kemudian dipindahkan di ruang perawatan. Totalnya, Supartono dirawat selama lima bulan di rumah sakit.
Dirawat di rumah sakit berbulan-bulan, Supartono berada jauh dari keluarga. Meski harus kembali berlatih untuk dapat berjalan, tetapi ia mengaku tidak patah semangat. Ketabahannya dalam menjalani pengobatan membuat Supartono dipanggil Superman oleh perawat dan dokter di sana.
Baca Juga:Jeff Bezos Hanya Follow Satu Akun di Twitter, Tapi Tidak Difollback
Namun, Supartono sempat berputus asa. Dalam kondisi tidak bisa berbuat apa-apa di atas ranjang rumah sakit, ia berniat untuk mendonasikan organ tubuhnya. Setidaknya, ia ingin bisa tetap bermanfaat dalam ketidakmampuannya beraktivitas seperti sedia kala. Namun, setelah menjalani 11 operasi dan dua tahun fisioterapi, Supartono dapat kembali berjalan dan bergerak seperti semula.
"Selama empat bulan perawatan itu, saya menghabiskan biaya 1,5 M. Semuanya ditanggung perusahaan, termasuk ketika saya sudah kembali ke Indonesia. Biaya fisioterapi dan gaji pokok selama dua tahun tetap diberikan," tukasnya.
Kesembuhan Supartono sempat ditulis oleh media cetak di Australia. Tulisan satu halaman penuh tersebut diberi judul "From a wild sea, life is restored". Potongan koran tersebut sampai saat ini masih terus dibawa Supartono dalam tasnya. Ketika suntuk, ia mengaku kerap kembali membaca berita yang mengisahkan kesempatan hidup keduanya.
Selama enam minggu koma, Supartono mengaku seolah melihat kembali putaran kaset perjalanan hidupnya dari mulai TK hingga ia dewasa. Meski hidup dengan perut imitasi yang diambil dari potongan daging pahanya, Supartono bersyukur untuk kesempatan hidup keduanya.
Bahkan, dalam pekerjaannya sebagai pemilah sampah saat ini, Supartono masih ingin terus memberikan manfaat untuk banyak orang. Cacian dari orang terdekat mengenai profesinya justru semakin memompa semangat Supartono untuk membagikan manfaat dari mengolah sampah.
Baca Juga:Anak Lakukan Pemeriksaan Rontgen? Orangtua Wajib Tanya Ini ke Dokter