SuaraJogja.id - Sebagai gudang tempat sakral, memang paling asyik kalau membahas Jogja lebih spesifik tentang berbagai objeknya yang dikenal sarat akan sejarah, sampai-sampai dibilang mistis. Salah satunya Plengkung Gading, yang tentunya masih menjadi bagian dari Keraton Jogja.
Plengkung Nirbaya Gading, yang lebih populer dengan sebutan singkatnya, Plengkung Gading, berlokasi sekitar 300 meter dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan Patehan Kidul, Kelurahan Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.
Berfungsi awal sebagai gapura atau pintu masuk, hampir seperti namanya, Plengkung Gading berbentuk melengkung. Para pengendara yang melintas di bawahnya pun harus melewati lorong pendek, yang dibuka untuk umum.
Dengan lubang yang melengkung itu, Plengkung Gading, yang berwujud bangunan tembok kokoh warna putih, punya semacam mahkota di tepi atasnya. Lalu di masing-masing sisi kiri dan kanan, terentang dinding, dengan bagian atas yang dulunya berfungsi sebagai benteng penjagaan. Setelah zaman perang berakhir, bagian atas Plengkung Gading itu biasanya digunakan pengunjung untuk bersantai menikmati sore dengan secuil pemandangan indah Kota Jogja.
Baca Juga:Mengulik Asal-usul Tolpit Kue khas Bantul, Namanya Jorok tapi Rasanya Enak
Di kawasan Plengkung Gading, ada juga menara sirene. Hanya saja, sirene di sana dibunyikan cuma dua kali: pada 17 Agustus untuk memperingati detik-detik Proklamasi dan menjelang buka puasa di bulan Ramadan.
Kata Nirbaya dari Plengkung Nirbaya--nama asli Plengkung Gading--sendiri berasal dari "nir" atau tidak ada dan "baya" atau bahaya. Secara filosofis, Plengkung Nirbaya Gading memiliki makna "tidak ada bahaya yang mengancam".
Zaman dulu, Plengkung Gading berfungsi sebagai satu dari lima gerbang masuk wilayah Keraton Jogja. Selain Plengkung Gading di sisi selatan, empat plengkung lainnya adalah Plengkung Tarunasura di utara, Plengkung Madyasura di timur, Plengkung Jagabaya di barat daya, dan Plengkung Jagasura di barat. Namun, dari kelima plengkung itu, sampai sekarang hanya Plengkung Tarunasura Wijilan dan Plengkung Nirbaya Gading yang keaslian bangunannya masih jelas terlihat.
Bukan itu saja, Plengkung Gading juga menjadi pintu keluar bagi jenazah sultan dan keluarga Keraton yang hendak dimakamkan. Biasanya, raja yang mangkat, jenazahnya dibawa keluar dari Keraton melalui Plengkung Gading dan selanjutnya dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri.
Baca Juga:Mau Wisata Horor di Jogja? Baca Dulu Kisah di Balik 5 Rumah Angker Ini
Konon, sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) I, sultan yang masih hidup dan bertakhta dilarang melewati Plengkung Gading. Hanya sultan yang sudah wafat alias jenazahnya yang boleh melewatinya.