Namun ada kejanggalan pada fotokopi sertifikat tanah desa Sidoluhur yang lama. Pada lembar berjudul “Pendaftaran-Pertama” yang menampilkan status tanah serta nama pemegang hak dan tanggal penerbitan setifikat, semula terdapat tulisan “xxx xxx Tanah Negara bekas hak adat persil xxx xxx tanggal 14-10-2003”. Kemudian pada kata “Negara bekas” dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf berbentuk huruf P. Tidak ada penjelasan atau catatan di bawah sertifikat yang diduga sengaja dicoret tersebut.
Arya sempat mempertanyakan, tetapi lambat laun tak lagi mempersoalkan. Ia berasumsi, dugaan pencoretan tersebut sudah dilakukan pada dokumen sertifikat asli yang diterbitkan sejak 2003 silam. Tim kolaborasi juga meminta konfirmasi Dispertaru Sleman yang menyimpan seluruh sertifikat asli tanah desa di Sleman.
Menurut Kasi Penatausahaan Pertanahan Dispertaru Sleman, Yuli Nastiti, pada sertifikat asli hak pakai Nomor 18 (Sidoluhur) yang disimpan juga terdapat coretan pada kata “Negara bekas”. Yuli tak bisa menjelaskan secara gamblang dugaan pencoretan itu atas dasar apa.
“Saya tidak tahu alasannya (dugaan pencoretan). Coba nanti kami konfirmasi ke BPN. Kami juga sudah ngomong-ngomong dengan provinsi. Sebaiknya tanya ke Dispetaru DIY, karena di luar kewenangan kabupaten,” kata Yuli diwawancarai tim kolaborasi di kantornya, Kamis (27/5/2021).
Baca Juga:LPSK Beri Jaminan, Saksi Kasus Bom Molotov di Kantor LBH Yogyakarta Jangan Takut Bicara
Kepala BPN Sleman Bintarwan Widiasto membantah instansinya melakukan pencoretan. Ia mengklaim, sejak awal tidak ada pencoretan pada sertifikat asli Sidoluhur.
“Itu saya tidak tahu siapa yang nyoret. Sertifikatnya di sana (Dispertaru Sleman) dicoret, saya tidak mengerti kenapa bisa demikian,” kata Bintarwan ditemui di tempat kerjanya, Kamis (24/6/2021).
Bintarwan juga memastikan pencoretan sertifikat tanah desa jarang terjadi, bahkan tidak ada. Namun pencoretan bisa dilakukan apabila ada kesalahan ketik. Selain itu, ketika ada transaksi jual beli tanah yang harus mengganti nama, BPN Sleman juga mencoret dan memberikan paraf.
“Pada sebab perubahannya nanti disebutkan, berdasarkan akta PPAT yang resmi yang dibeli oleh PPAT sekian beralih kepada orang ini,” ujar dia. Apabila sudah ada pencoretan yang dilakukan pada sebuah sertifikat, pemilik bisa mengajukan ke BPN untuk penggantian yang baru.
Sementara alasan penulisan “Tanah Negara bekas hak adat”, Bintarwan menjelaskan, saat desa berbondong-bondong mengajukan permohonan sertifikasi pada 2003, termasuk Sidoluhur, tanah bekas adat atau tanah desa harus berstatus tanah negara. Sehingga diberikan surat keputusan pemberian hak yang hanya bisa terbit apabila statusnya adalah di atas tanah negara.
Baca Juga:Top 5 SuaraJogja: Ganjar Terancam Sanksi PDIP, Khotbah Pendeta Soal Muhammadiyah
“Maka namanya Tanah Negara bekas hak adat sekian nomor ini…ini…, saya berikan SK. Saya tetapkan ini diberikan kepada pemerintah desa sebagai hak pakai untuk selama dipergunakan. Sudah selesai sampai di situ,” jelasnya.
Seiring berjalan waktu, lahirlah UU Keistimewaan. Pihak keraton dan kadipaten ingin mengetahui aset tanah miliknya tersebar dimana saja. Menurut Bintarwan, aset tanah milik keraton kebanyakan tanah desa. Selanjutnya, BPN menginventarisasi tanah desa yang ada di DIY hingga saat ini untuk disertifikasi atas nama milik keraton.
Bintarwan juga meminta perangkat desa tak perlu khawatir karena tak ada niat tanahnya akan diambil sepenuhnya oleh kasultanan atau kadipaten. Pensertifikatan hanya untuk memastikan tanah desa adalah milik kasultanan dengan hak pengelolaan penuh kepada desa.
“Silahkan desa mau memanfaatkan tanah itu. Caranya ya ada izin gubernur kalau bekerja sama dengan pihak ketiga. Duwite mbok pek (duitnya kamu ambil) untuk kemaslahatan masyarakat desa, gitu lho,” ungkap dia.
Menanggapi dugaan pencoretan tersebut, Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/BPN, Tri Wibisono menjelaskan jika asal-usul tanah tersebut merupakan milik kasultanan atau kadipaten, maka bisa jadi kata “Negara bekas” itu dicoret.
“Karena tidak ada tanah negara di DIY. Sedari awal asal usul pertanahan semua milik kasultanan dan kadipaten,” kata Tri.