SuaraJogja.id - Komisi Informasi (KI) Pusat meluncurkan nilai atau skor Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) di 34 Provinsi seluruh Indonesia. Provinsi DI Yogyakarta berada di urutan ke-10 dengan mengantongi skor sebesar 76,59 yang masuk kategori sedang.
Peluncuran IKIP ini sendiri adalah kali pertama setelah UU no 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diterbitkan pada 2008 dan mulai dijalankan 2010 silam. Hal itu memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar mengingat banyak indikator yang harus disebar ke informan ahli (IA) di 34 provinsi.
Ketua KI Pusat Gede Nuryana dalam sambutannya saat peluncuran IKIP di Novotel Suites, Malioboro, Danurejan, Kota Jogja, Senin (1/11/2021), menerangkan bahwa pemilihan Kota Yogyakarta sebagai tempat peluncuran lantaran wilayah ini menjadi basis Kota Pelajar.
“Melihat bahwa Jogja adalah barometer dan juga banyak tokoh masyarakat yang lahir dari Jogja, peluncuran IKIP ini dilakukan di sini. Penilaian ini merupakan pertama kali dan memang di Yogyakarta mendapat skor kategori sedang,” jelas Gede, Senin.
Baca Juga:Peringkat 7 Nasional, Kaltim Raih Anugerah Keterbukaan Informasi Publik
Ia menjelaskan bahwa IKIP sendiri merupakan program prioritas KI Pusat yang ditetapkan dalam Rancangan Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Dalam melakukan penilaiannya, dibentuk tim Pokja IKIP dari masing-masing provinsi yakni Anggota KI Daerah.
“Dalam penilaiannya tiap komisi di daerah memilih informan ahli (IA) untuk ikut berkontribusi di dalamnya. Mulai dari akademisi, praktisi, pelaku usaha, CSO hingga Badan Publik. jumlah seluruhnya (di 34 provinsi) sekitar 312 IA provinsi dan 17 IA nasional,” terang Gede.
Penilaian IKIP dimulai pada 2020 lalu saat Indonesia mulai terdampak situasi pandemi Covid-19.
Adapun indikator yang dinilai dari setiap daerah atau provinsi, antara lain, kebebasan mencari informasi tanpa rasa takut, akses dan diseminasi informasi, ketersediaan informasi yang akurat terpercaya. Selanjutnya ada partisipasi publik dan literasi publik atas hak keterbukaan informasi.
“Kami juga menambatkan indikator terhadap proporsionalitas pembatasan keterbukaan informasi dan biaya ringan mendapatkan informasi. Ada juga tata kelola informasi publik, dukungan anggaran pengelolaan informasi dan kemanfaatan informasi bagi publik,” katanya.
Baca Juga:Keterbukaan Informasi Publik 2021, DIY Berhasil Pertahankan Predikat Informatif
KI Pusat juga melibatkan media untuk menjadi indikator keterbukaan informasi itu, seperti keberagaman kepemilikan media. Keberpihakan media pada keterbukaan informasi, transparansi, jaminan hukum atas akses informasi dan kebebasan menyebarluaskan informasi ke publik.
Selanjutnya, kata Gede IKIP juga menilai bagaimana perlindungan bagi pemohon informasi dan juga perlindungan hukum bagi whistleblower. Tak hanya itu kebebasan penyalahgunaan informasi, kepatuhan menjalankan UU KIP dan juga ketersediaan penyelesaian sengketa informasi.
“Ada 20 indikator yang kami nilai bersama tim pokja dan juga informan ahli kami. Dari hasil itu, untuk Indonesia sendiri mendapatkan skor 71,38. Lebih kecil dibanding DI Yogyakarta. Adapun nilai indikator IKIP, yaitu buruk sekali (0-30), buruk (31-59), sedang (60-79), baik (80-89) dan baik sekali (90-100)” ujar dia.
DI Yogyakarta sendiri juga mencatatkan nilai dimensi fisik politik 75,41 lebih besar dari angka nasional yakni 70,66. Sementara dimensi ekonomi sebesar 74,75 mengungguli nilai nasional yang sebesar 68,53. Lalu dimensi hukum sebesar 79,16 lebih tinggi dibanding nasional sebesar 74,39.
Dari sejumlah indikator itu, lanjut Gede ada aspek penting yang digaris bawahi, yaitu dapat mengukur kepatuhan Badan Publik terhadap UU KIP. Kedua mengukur persepsi masyarakat terkait UU KIP maupun haknya atas informasi. Lalu ketiga adalah kepatuhan Badan Publik terhadap putusan sengketa informasi publik di Komisi Informasi untuk menjamin hak masyarakat atas informasi.
Ia melanjutkan bahwa hasil dari IKIP sendiri berfungsi untuk mengingatkan para Kepala Daerah di masing-masing provinsi untuk berbenah. Sehingga tujuannya sendiri agar publik atau masyarakat bisa mengetahui gambaran keterbukaan informasi di wilayahnya.
Selain itu menyediakan rekomendasi terkait arah kebijakan nasional mengenai keterbukaan informasi dan memastikan untuk dijalankan oleh kepala daerah. Ketiga mengasistensi Badan Publik dalam mendorong keterbukaan informasi publik (KIP) di tingkat pusat dan Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten dan Kota.
“Dari hasil itu masyarakat bisa memberikan rekomendasi dan masukan kepada kepala daerah saat penyusunan kebijakan dan program pembangunan daerah. Satu hal lagi dari IKIP ini memberikan laporan pencapaian keterbukaan informasi di indonesia sebagai bahan utama Pemerintah RI menyampaikan ke forum internasional,” terang dia.
Peluncuran sekaligus diskusi panel tersebut juga menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Anggota Komisi 1 DPR RI Dave Laksono, Rektor UGM Panut Mulyono, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Gaudensius Suhardi dan juga Penanggung Jawab IKIP yang juga menjabat Ketua Bidang Penelitian dan Dokumentasi KI Pusat Romanus Ndau Lendong.
Romanus Ndau Lendong mengungkapkan dari hasil penilaian IKIP, tiga Provinsi teratas dengan nilai tertinggi adalah Bali (83,15), Kalimantan Barat (80,38) dan Aceh (79,51).
“Sementara yang terendah adalah Papua Barat (47,48), Sulawesi Tengah (55,72) dan Maluku Utara (63,19). Nah ini yang harus menjadi perhatian kepala daerah, termasuk warga untuk ikut bergerak menyusun keterbukaan informasi di wilayah masing-masing,” ujar dia.
Ia berharap dari hasil itu, pemerintah harus lebih transparan, akuntabel dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam, mengambil kebijakan publik dan pengelolaan Badan publik yang baik.