Jejak Abdi Dalem Sebarkan Tradisi Minum Jamu di Yogyakarta: Dari Ginggang hingga Kiringan

tradisi menenggak jamu di wilayah Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari resep Keraton yang disebarkan para abdi dalem

Galih Priatmojo
Rabu, 17 November 2021 | 12:55 WIB
Jejak Abdi Dalem Sebarkan Tradisi Minum Jamu di Yogyakarta: Dari Ginggang hingga Kiringan
Salah seorang karyawan kedai Jamu Ginggang menunjukkan salah satu produknya yakni jamu lelaki. [Galih Priatmojo / suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Saat membuka perhelatan The 2nd Asian Agriculture and Food Forum atau ASAFF pada 12 Maret 2020 di Istana Negara, Presiden Jokowi membeberkan rahasianya agar tetap prima. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku rutin mengonsumsi minuman jamu berupa campuran temulawak, jahe, sereh hingga kunyit sebanyak tiga kali sehari.

Kebiasaan Jokowi menenggak jamu nyatanya bukanlah sesuatu yang baru. Menengok jauh ke belakang, mengonsumsi jamu sudah dilakukan bahkan jadi tradisi para kaum elite kerajaan atau keraton hingga para bangsawan.

Jamu diketahui berasal dari bahasa Jawa Kuno yakni jampi atau usada yang bermakna penyembuhan memakai ramuan obat-obatan atau doa serta ajian. Dulu, masyarakat Jawa meyakini bahwa resep kuno mengenai jamu diturunkan kepada para dukun dan para keluarga keraton berupa wahyu mistis melalui mimpi dan meditasi.

Bukti Sejarah Jamu

Baca Juga:Staycation Semakin Nyaman di Hyatt Regency Yogyakarta dengan Fasilitas Ini

Bukti otentik jamu telah digunakan sejak lama oleh masyarakat nusantara, khususnya Jawa, salah satunya bisa ditemukan dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada relief tersebut tergambar seseorang yang memberi pertolongan pada seorang yang sakit dengan cara memijit kepala, serta memberi semangkuk obat yang diperkirakan sebagai jampi atau jamu.

Candi Borobudur saat One Day Tour VW Ride Borobudur Magelang,Minggu (6/6/2021) (Suara/Hiromi)
Candi Borobudur saat One Day Tour VW Ride Borobudur Magelang,Minggu (6/6/2021) (Suara/Hiromi)

Pada bagian lain relief tersebut juga tergambar sejumlah bahan ramuan yang terdiri dari tanaman sebagai obat. Di antaranya tanaman semanggen, Jamblang, Pandan serta Maja yang diperkirakan didapat dari lingkungan sekitar.

Selain dari relief Candi Borobudur, bukti lain mengenai keberadaan jamu juga tertuang pada manuskrip kuno. Hal tersebut seiring dengan makin populernya istilah jampi di kalangan elite keraton atau kerajaan pada abad 15-16 Masehi.
Beberapa manuskrip kuno yang memuat keberadaan jamu di antaranya Serat Centini yang disusun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara III yang dibantu para pujangga Keraton Surakarta yang ditulis pada 1814 hingga 1823.

Lalu Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi pada 1831 yang berisi catatan kumpulan ramuan obat asli masyarakat Jawa yang ditulis berdasar perintah Sri Susuhunan Pakubuwono V. Dimana dari total 1.166 tulisan ada sebanyak 922 resep berisi ramuan bahan alam sementara 244 resep lainnya berupa mantra hingga jimat yang konon dipercaya dapat menyembuhkan sejumlah penyakit.

Kemudian ada pula tulisan dari seorang Belanda yakni Jan Kloppenburg-Versteegh yang mendedahkan mengenai beragam manfaat tanaman serta resep berbahan alami untuk mengobati sakit perut, ambeien hingga malaria. Tulisan tersebut termuat dalam buku Bab Tetuwuhan ing Tanah Hindia Miwah Dayanipun Kangge Jampi terbitan tahun 1911 yang kemudian dialihaksarakan oleh Pradnya Paramita Hapsari pada 2011.

Baca Juga:Liputan Khusus: Menjegal Perdagangan Anjing di Yogyakarta

Tulisan lain mengenai jamu juga tercatat dalam Serat Primbon Jampi Jawi pada 1933 serta Kitab Primbon Betaljemur Adammakna pada 1939 yang merupakan catatan lengkap mengenai pengobatan tradisional dari Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang diterbitkan oleh Raden Somodidjojo.
Seiring berjalannya waktu, pengetahuan pengobatan tradisional jamu yang semula hanya dikenal di lingkungan keraton menyebar hingga ke luar benteng . Para abdi dalem yang bertugas sebagai tabib atau peracik jamu keraton punya andil dalam penyebaran resep jamu tersebut.

Jamu Ginggang: Penghubung Keraton dan Rakyat

Salah satu bukti andil para abdi dalem keraton dalam penyebaran resep jamu ke luar istana bisa dilihat lewat keberadaan kedai Jamu Ginggang. Terletak di Jalan Masjid Pakualam, kedai Jamu Ginggang berada tepat di sebelah timur Pura Pakualaman, Yogyakarta.

Rudi Supriyadi (56) mendedahkan keberadaan kedai Jamu Ginggang yang empat tahun lagi genap berusia satu abad, tak bisa dilepaskan dari keluarga Puro Pakualaman. Pria yang terhitung sebagai generasi kelima pewaris kedai Jamu Ginggang ini menyebut bahwa awal mula resep jamu yang didapat keluarganya berasal dari kakek buyutnya yang merupakan abdi dalem bernama Joyo Tan Genggang.

Mbah Joyo, Rudi memanggilnya, menjadi abdi dalem di Kadipaten Pakualaman pada era kepemimpinan Paku Alam VII yakni antara tahun 1907-1937. Ia saat itu bertugas sebagai tabib keluarga keraton.

Penerus kedai Jamu Ginggang Rudy Supriyadi sedang menyedu secangkir jamu. [suarajogja.id]
Penerus kedai Jamu Ginggang Rudy Supriyadi sedang menyedu secangkir jamu. [suarajogja.id]

Tugas Mbah Joyo sehari-hari saat berada di Pura Pakualaman meracik jamu untuk dikonsumsi para keluarga keraton. Rudi mengungkapkan tradisi keluarga keraton menenggak jamu tak bisa dilepaskan dari tiga hal utama yang sehari-hari mereka lakukan.

Pertama, olah raga berupa berlatih jemparingan atau seni memanah khas Kerajaan Mataram serta menari. Kedua, olah rasa yaitu aktivitas yang dilakukan untuk mengolah jiwa. Kegiatannya berupa membatik. Kemudian ketiga, untuk menjaga kesehatan.

"Atas dasar ketiga hal itu, maka keluarga keraton membiasakan dan rutin minum jamu, untuk menjaga kondisi fisik dan jiwanya dari sakit," terangnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

Setelah Mbah Joyo mangkat, tugas sebagai tabib keraton dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Mbah Bilowo. Sama seperti Mbah Joyo, tugas Mbah Bilowo setiap hari juga meracik jamu untuk keperluan keluarga keraton.

Kemudian setelah Mbah Bilowo tilar dunyo, tugas meracik jamu dilanjutkan adiknya Mbah Puspo Madyo. Di masa Pusmo Madyo bertugas inilah, resep jamu yang selama ini hanya dinikmati keluarga keraton, diperbolehkan untuk diakses publik.

"Mbah Puspo Madyo sekitar tahun 1930 itu diperbolehkan untuk menyebarkan resep jamu keraton kepada umum," terangnya.

Semenjak diizinkan oleh keluarga Paku Alam itulah, kemudian muncul namanya Jamu Ginggang. Nama Ginggang merupakan pemberian dari keraton yang dalam bahasa Jawa yakni tansah renggang atau jangan ada jarak.

"Artinya bahwa lewat media jamu ini hubungan antara keraton dalam hal ini Paku Alam dengan rakyat, rakyat dengan keluarga keraton tidak boleh renggang. Selalu menjalin dan menjaga erat kebersamaan," kata Rudi.

Mbah Puspo mulanya menjajakan jamu Ginggang di emperan. Baru sekitar tahun 1950an, dibuatlah kedai.

Resep Jamu Dibukukan

Sepeninggal Mbah Puspo, usaha Jamu Ginggang dilanjutkan anaknya yakni Dasiyah. Pada masa Dasiyah, resep jamu keluarga keraton yang mulanya hanya disampaikan lisan, kemudian dicatat dan dibukukan.

"Nah dari masa Dasiyah yang merupakan ibu saya, resep jamu keraton itu mulai dibuatkan pakemnya, artinya resep yang selama ini disampaikan lisan, dicatat bahan-bahannya lalu dibukukan," kata Rudi.

Disebutkan berdasarkan catatan ibunya, resep jamu warisan keraton sebetulnya memiliki banyak macamnya. Setidaknya ada sebanyak 17 macam jenis jamu yang disajikan. Tapi berdasar peruntukannya, resep Jamu Ginggang diklasifikasikan ke dalam tiga kategori.

Kategori pertama untuk remaja terutama jamu bagi mereka remaja perempuan yang tengah mengalami siklus kewanitaan tiap bulan. Ketegori kedua untuk wanita yakni untuk kesuburan. Sedangkan kategori ketiga yakni untuk kesehatan pria.

"Selain itu ada pula resep jamu untuk sakit yang umum diderita masyarakat seperti batuk, masuk angin atau pegal-pegal. Untuk harganya di kisaran Rp6000 sampai Rp11.000 saja kalau sekarang," ucapnya.

Rudi menyebut bahan setiap resep Jamu Ginggang tergolong kompleks. Contohnya untuk resep jamu watukan atau batuk saja bisa memakai sebanyak 20 jenis rempah.

"Salah satunya untuk bahan rempah yang agak jarang disini yakni inggu, itu berasal dari tanaman di daerah India atau Balkan kalau ga salah. Itu jadi bahan pokok untuk jamu watukan," katanya.

Aneka produk jamu ginggang. [suarajogja.id]
Aneka produk jamu ginggang. [suarajogja.id]

Lebih lanjut Rudi mengungkapkan bahan dasar jamu yang berupa rempah-rempah didapat dari jaringan pedagang di Pasar Beringharjo yang merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Pada masa kakek hingga ibunya, bahan rempah-rempah dipasok dari pedagang China yang berjualan aneka rempah tepatnya terletak di utara Pasar Beringharjo yakni kawasan Ketandan yang kni dikenal sebagai kampung pecinan di Yogyakarta.

"Zaman dulu kita disuplai bahan rempah-rempahnya sama orang china namanya Nyonya Kian Tiek yang jual di pasar Beringharjo yang sebelah utara tepatnya di kawasan Ketandan. Adas pulowaras, bengle, inggu dan macam-macam lainnya dari sana," terangnya.

Ia menyebut pengunjung kedai Jamu Ginggang saat awal berdiri didominasi para pedagang China hingga orang-orang Belanda pegawai pemerintahan. Sementara saat ini, selain masyarakat di sekitar Yogyakarta juga kerap disinggahi turis dari Prancis, Jepang dan Inggris.

"Dulu yang beli itu tuan-tuan mister, selain itu ya pedagang china itu dan orang-orang pemerintahan. Kalau sekarang ya warga sekitar Yogyakarta, turis hingga para peneliti dari luar negeri," ucapnya.

Ritual pembuatan Jamu Ginggang

Untuk menjaga cita rasa dan khasiat Jamu Ginggang, sebelum memproses para peracik yang memasak wajib dalam kondisi bersih diri.

Yati (54) salah seorang peracik Jamu Ginggang mengungkapkan bahwa selain bahan-bahan jamu yang harus bersih, para peraciknya juga wajib dalam keadaan suci. Suci yang dimaksud yakni dalam kondisi sudah mandi bersih.

"Dahulu bahkan menurut cerita turun-temurun dari keluarga Mbah Joyo, abdi dalem sebelum meracik jamu selain bersih diri juga wajib bersih spiritual, maka ada pula yang puasa terlebih dulu sebelum mulai memasak," kata wanita yang sudah 30 tahun bekerja sebagai peracik jamu di Kedai Jamu Ginggang tersebut.

Untuk pengolahannya, lanjut Yati, Jamu Ginggang masih mempertahankan cara tradisional dengan proses ditumbuk, digerus, dipipis hingga dijur.

Seorang karyawan Jamu Ginggang tengah menyedu salah satu produk jamunya. [suarajogja.id]
Seorang karyawan Jamu Ginggang tengah menyedu salah satu produk jamunya. [suarajogja.id]

“Dahulu pernah coba diubah dengan cara yang modern. Saat itu ada peneliti dari Prancis yang mengusulkan begitu. Tetapi begitu disajikan banyak yang tidak suka, akhirnya ya kembali ke cara tradisional seperti sedia kala pengolahannya,” tambahnya.

Dusun Kiringan: Markas Para Penjaja Jamu Gendong

Jejak penyebaran resep jamu dari para abdi dalem yang kemudian dinikmati khalayak selain dari kedai Jamu Ginggang juga bisa ditengok di Dusun Kiringan. Dibutuhkan waktu sekitar 32 menit dari pusat Kota Yogyakarta untuk menuju kawasan yang terletak di Desa Candes, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul tersebut.

Dusun Kiringan yang saat ini berstatus Desa Wisata merupakan sentra produksi jamu gendong yang cukup besar di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sosok pionir yang memproduksi jamu di Dusun Kiringan bermula dari wanita bernama Joparto. Ia merupakan buruh membatik di Kota Yogyakarta .

Sekitar tahun 1950, ia berjumpa dengan abdi dalem Keraton Yogyakarta. Saat pertemuan itulah sang abdi dalem mengusulkan agar Joparto beralih profesi sebagai penjual jamu. Mengikuti saran sang abdi dalem, Joparto kemudian beralih profesi sebagai peracik sekaligus penjual jamu dimana nilai ekonomisnya dianggap lebih baik dibanding menjadi buruh batik.

Berjalannya waktu, jamu gendong buatan warga Kiringan mendapat respon baik di masyarakat. Lalu semacam gethok tular sebagian warga lainnya kemudian ikut memproduksi jamu juga. Berkembangnya produksi jamu di Kiringan juga didukung tersedianya sebagian bahan baku jamu di sekitar dusun, seperti jahe, kunyit, kencur, beras, cengkeh, jerus nipis, dan sereh. Namun ada juga bahan baku yang harus didatangkan dari luar seperti temulawak, kayu manis, dan kapulaga.
Inovasi Jamu Milenial

Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]
Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]

Sebagai upaya untuk melestarikan tradisi minum jamu agar tak lekang dimakan zaman, Sutrisno (62) yang merupakan sesepuh di Kiringan, bersama warga melakukan inovasi produk jamu. Ia mengembangkan racikan jamu dalam bentuk sirup, jamu instan dan kapsul. Selain itu untuk memacu remaja akrab dengan jamu, ia juga membuat inovasi permen jamu, es jamu dan wedang jossja yang merupakan akronim dari wedang joss jamu.

“Ini terobosan buat kami sebagai upaya mengenalkan jamu agar lebih bersahabat bagi remaja dan anak-anak yang umumnya tak suka rasa pahit dari jamu,” ungkapnya .

Rambah Pasaran Online

Sutrisno menjelaskan bahwa di Kiringan saat ini tercatat ada sekitar 132 orang perajin jamu. Sementara yang saat ini masih aktif menjajakan jamu gendong ada sebanyak 90 orang, di mana sebanyak 40 orang merupakan generasi baru.

Menariknya, lanjut Sutrisno, tak sedikit para perajin jamu gendong di Kiringan yang melakukan inovasi dalam berjualan. Memanfaatkan kecanggihan teknologi, beberapa di antaranya kini menjajakan jamu tidak dengan digendong lagi melainkan dengan dijual secara online.

“Jadi mereka menjajakannya dalam bentuk racikan bahan mentah yang sudah dikemas sehingga bisa tetap awet ketika dikirim,” ungkapnya.

Menjelma Jadi Desa Wisata Jamu

Daya pikatnya sebagai desa penghasil jamu gendong yang melegenda, membuat Dusun Kiringan dilirik banyak pengunjung sebagai kawasan wisata alternatif. Merespon banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung, di tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Bantul kemudian menetapkan Dusun Kiringan sebagai desa wisata sentra produksi jamu.

“Awalnya memang banyak pengunjung baik dari dalam atau luar negeri yang mampir ke Kiringan untuk sekadar meminum jamu. Baru pada 2016 lalu desa ini menerima Surat Keputusan menjadi desa wisata,” kata Sutrisno.

Untuk memberikan rasa nyaman bagi pengunjung yang singgah ke Dusun Kiringan, pengelola desa wisata menyediakan sejumlah fasilitas pendukung mulai dari home stay, transportasi untuk jemputan hingga jelajah alam dengan objek wisata utamanya yakni pengolahan jamu.

Dengan tarif Rp3 juta, wisatawan yang berkunjung ke Kiringan bisa mendapatkan paket menginap selama tiga hari dua malam. Setiap pengunjung yang datang akan diberikan jamu sebagai welcome drink .

Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]
Penjual jamu keliling di Desa Wisata Jamu Gendong Kiringan, Desa Canden, Jetis, Bantul, Selasa (4/8/2020). [Suara.com/Hiskia]

“Sebelum berkunjung ke Kiringan, wisatawan akan diajak keliling Jogja melewati Malioboro, Keraton Yogyakarta, objek wisata Becici dan sekitarnya hingga yang terakhir di Pantai Parangtritis. Pihaknya juga akan mengajak wisatawan untuk mencoba kuliner yang ada di wilayah Jogja dan Bantul,” ungkapnya.

Selama tiga hari di Kiringan, wisatawan akan diajak untuk melihat pemaparan materi tentang jamu atau menonton film yang berkaitan dengan jamu. Kemudian wisatawan akan diajak jelajah wisata ke kebun tanaman rempah-rempah milik warga yang digunakan sebagai bahan dasar membuat jamu. Selain dikenalkan dengan ragam jenis tanaman, para wisatawan juga akan diajari untuk membuat jamu sesuai resep turun temurun dari Dusun Kiringan.

"Beberapa waktu lalu sempat ada rombongan dari Jepang, Belanda, dan Malaysia. Ada sekitar tujuh home stay yang disiapkan kemarin," kata Sutrisno.

Sutrisno mengatakan jamu telah menjadi keberkahan tersendiri bagi warga Dusun Kiringan. Aktivitas meracik jamu telah membuka lapangan kerja dan turut menopang perekonomian warga. Lebih dari itu, aktivitas para peracik jamu di Kiringan secara nyata turut memberikan andil dalam melestarikan tradisi menenggak jamu di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya.

Konektivitas Keraton, Abdi Dalem dan Pasar Beringharjo

Berdasarkan riwayat Kedai Jamu Ginggang hingga sentra jamu gendong di Dusun Kiringan, Prof Murdijati Gardjito tak memungkiri bahwa berkembangnya tradisi minum jamu di Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari konektivitas keraton, para abdi dalem serta keberadaan Pasar Beringharjo.

Ia menjelaskan, keraton sebagai pusat kekuasaan di masa lampau, memiliki akses besar untuk membiasakan diri mengonsumsi jamu. Hal itu karena didasarkan atas kebiasaan para keluarga keraton dalam usaha untuk menjaga kewarasan atau kesehatan, kemudian menjaga kecendekiawanannya serta penampilannya.

“Ketiga unsur inilah yang kemudian membentuk tradisi minum jamu di dalam lingkungan keraton,” terang Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan UGM saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, kebiasaan para keluarga keraton mengonsumsi jamu tersebut membuka pengetahuan para abdi dalemnya. Mereka menjadi tahu mengenai ragam resep jamu dan terampil dalam mengolah bahan-bahan rempahnya. Dari tangan mereka inilah kemudian resep-resep jamu itu tersebar ke luar beteng keraton.

Selain abdi dalem, distribusi jamu juga turut dilakukan oleh beberapa agen, salah satunya adalah tukang rempah-rempah. Profesi tukang rempah-rempah ini disebut pula dengan istilah craki yakni penjual sekaligus peracik obat.

Prof Murdijati Gardjito mengungkapkan profesi craki ini dahulu banyak ditemukan di kawasan Pasar Beringharjo sebelah utara, tepatnya sekarang di kampung Ketandan atau pecinan. Dahulu kawasan yang dikenal sebagai cikal bakal berdirinya perusahaan jamu Sido Muncul itu memang banyak ditemukan para pedagang sekaligus peracik obat termasuk jamu.

Selain craki, dukun bayi dan penjaja jamu gendong dan pikul atau yang disebut dengan wiku juga turut andil menyebarkan jamu terutama bagi kalangan kelas menengah ke bawah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak